Mohon tunggu...
Saifuddin Du
Saifuddin Du Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah apa yang ada di hatiku.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sendiri, Sepi, dan Sunyi

5 Desember 2011   13:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:48 3958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Sendiri itu belum tentu sepi, bisa juga sunyi.” Kalimat tersebut beberapa kali saya ucapkan kepada beberapa orang teman. “Sunyi” dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan dengan: tidak ada bunyi atau suara apapun; hening; senyap; kosong; atau sepi. Saya sendiri lebih senang mengartikannya (bersumber dari salah satu forum diskusi) keadaan dimana seseorang yang dalam keadaan sendiri tidak merasakan lagi kesendiriannya. Kalau merujuk pada salah satu puisi Amir Hamzah berjudul “sunyi itu duka”, “sunyi” dapat berarti pergulatan batin seorang yang berduka (sunyi itu duka), yang merasakan kesatuan dirinya dengan Tuhannya (sunyi itu kudus), yang menjadikan dirinya sendiri lupa (sunyi itu lupa) dan lampus (sunyi itu lampus). Kedua arti terakhir inilah yang akan terus saya gunakan dalam tulisan ini selanjutnya.

Dari kedua arti terakhir kata “sunyi” di atas, saya kemudian menggunakannya untuk membedakan “sunyi” dan “sepi”. Kalau “sunyi” mengarah pada perasaan hati seseorang yang berduka, “sepi” lebih pada kegelisahan hatinya akan kesepian. Dalam realitas, ”sunyi” lebih pada tindakan tenang dalam merespon keadaan dirinya yang sendiri, sedangkan “sepi” mengutamakan amarahnya dalam menanggapi kesendirian. Dan yang lebih penting ialah ketika “sepi” berimplikasi pada hilangnya keyakinan dan arah, “sunyi” lebih terkait pada kedekatan batin seseorang dengan Tuhannya.

Sunyi dan sepi mempunyai hubungan erat dengan kesendirian. Keadaan diri yang sendiri akan mengundang datangnya sepi, itulah realitas hidup yang akan dialami manusia untuk pertama kali. Manusia kebanyakan akan takut dengan kesendirian, takut kehilangan orang-orang yang mencintai dan/atau dicintai, takut kehilangan harta benda, takut kepada sepi. Ketika kaya manusia akan takut kehilangan harta bendanya, ketika berpacaran ia takut kehilangan kekasihnya, ketika punya keluarga ia takut kehilagan keluarganya. Itu semua boleh jadi merupakan kodrat hidup manusia, namun demikian bukan berarti manusia harus kalah dengan kodrat hidup tersebut. Bahkan manusia dalam kapasitasnya dituntut untuk berlatih menghadapi segala sesuatu yang menjadi kelemahannya.

Ketakutan manusia akan kesendirian memang suatu hal yang wajar. Pada hakikatnya Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan lemah (dlo’if), yang membuatnya selalu membutuhkan orang atau sesuatu selainnya. Hanya saja yang jadi persoalan, seringkali ketergantungan manusia kepada selainnya itu menjadikannya melupakan Tuhan, yang seharusnya merupakan satu-satunya tempat bergantung. Kemudian yang jadi persoalan lagi, ketergantungan manusia kepada selainnya seringkali membuatnya takut pada selainnya itu yang notabene makhluk Tuhan, bukan Tuhan sendiri. Itulah kenapa dipandang penting bagi manusia untuk melatih kesendirian. Berikut ini juga merupakan beberapa alasan yang menunjukan arti penting manusia untuk melatih kesendirian dalam menjalani hidupnya:

Kesendirian dalam banyak keadaan termasuk perkara yang dibenci manusia. Kesendirian melahirkan sepi yang boleh jadi merupakan salah satu ujian hidup baginya. Banyak manusia menjadi putus asa dalam menghadapi sepi, yang diwujudkannya dengan mabuk, narkoba, atau bahkan dengan menghabisi nyawanya sendiri. Bisa juga sepi menyebabkan manusia kehilangan harga dirinya. Karena ketakutannya akan kesepian ia rela merendahkan dirinya kepada orang lain yang tidak semestinya, ia menjual dirinya sendiri. Dalam hal ini melatih kesendirian terkait dengan upaya manusia dalam mendewasakan hidup. Yang mana kedewasaan salah satunya dapat diukur dari kesediaan seorang untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai. Kedewasaan menuntut seorang untuk bisa menerima segala keadaan, bukan hanya kesenangan tapi juga penderitaan.

Dilihat dari sudut pandang lain, kesendiriran yang telah terwujud dalam sepi, setelah direnungkan dan dirasakan dapat membuahkan kesunyian. Sunyi berawal dari keadaan sendiri dan sepi itu, yang dalam ukuran tertentu karena sepinya, ia tidak merasakan sendiri dan sepi lagi, itulah sunyi. Dengan bersunyi-sunyi manusia akan banyak melihat dan bicara pada dirinya sendiri. Ia akan mengukur, mengkaji dan mengintrospeksi dirinya. Bisa jadi ia nantinya akan menemukan Tuhannya, yang ia rasakan selalu bersamanya. Dalam hal ini, melatih kesendirian berkaitkan dengan usaha manusia dalam mencari jati dirinya, yaitu dalam usaha menemukan Tuhannya.

Kemudian, melatih kesendirian juga berkaitan dengan khusyuk. Kesendirian, seperti telah disebutkan di atas, berhubungan dengan sepi dan kemudian sunyi. Lebih jauh lagi sunyi akan bertalian dengan khusyuk. Khusyuk sendiri merupakan adab seorang muslim dalam berhubungan dengan Tuhannya, entah waktu sholat, berdzikir atau aktivitas yang lain. Jika sunyi diartikan sebagai keadaan dimana seseorang yang dalam keadaan sendiri tidak merasakan lagi kesendiriannya, maka lebih jauh lagi khusyuk berarti keadaan seseorang untuk selalu bisa mempertahankan kesunyiaannya, baik di saat sendiri ataupun bersama orang lain, baik di saat sepi maupun ramai.

Manusia, dalam dengan segala keadaannya, dipandang perlu untuk melatih kesendirian. Selain didasarkan pada beberapa pemahaman di atas, yang juga dapat dijadikan pertimbangan adalah peristiwa-peristiwa terdahulu, yang ada dan diyakini oleh masyarakat. Sejenak saya perhatikan beberapa peristiwa penting di atas bumi manusia. Seorang Muhammad, waktu muda sebelum diangkat menjadi nabi, seringkali melakukan ‘uzlah (menyendiri) di dalam gua Hiro, sampai kemudian beliau menerima wahyu pertama. Kebiasaan itupun, dalam waktu-waktu tertentu juga seringkali dilakukan saat ketika beliau telah menjadi nabi.

Kemudian, dalam keyakinan masyarakat jawa agar seseorang mendapatkan wangsit (petunjuk), ia diharuskan bersemedi terlebih dahulu. Ia akan menyendiri dari segala keramaian dan hiruk-pikuk untuk mendapatkan wangsit yang diinginkannya. Hal semacam ini juga dianut dan diyakini juga oleh pengikut Hindu, Budha dan agama-agama atau kepercayaan yang lain. Adapun melatih kesendirian disini bukanlah semata-mata dilakukan dengan menghindari orang lain, karena bagaimanapun setiap apa yang telah dihadapkan kepada manusia tidak pernah satu pun sia-sia dan selalu mengandung pelajaran dan hikmah dibaliknya – bagi yang mau berpikir. Berlatih sendiri disini lebih sebagai usaha untuk mandiri (tidak bergantung pada orang lain), menemukan dirinya sendiri, dan kemudian menemukan Tuhannya.

Itulah beberapa pemikiran tentang arti penting melatih kesendirian. Meskipun demikian, yang juga penting untuk dicatat ialah: kepentingan untuk melatih kesendirian itu, sedapat mungkin tidak melalaikan kewajiban manusia dalam bermasyarakat, dan juga sebisa mungkin dilakukan dengan tidak sampai menyakiti hati dan perasaan orang lain. Dan akhirnya, saya tutup tulisan ini dengan mengutip sebuah ungkapan dalam Pramoedya tentang kesendirian, “Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun kembali pulang, seperti dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana.”

Saifuddin
Pondok Aren
04 Desember 2011
Kompasiana | Blogspot

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun