Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 43: Rencana Pencarian Kalung yang Hilang

5 Januari 2012   17:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SIANG itu, suasana pasar ramai seperti biasa. Para pedangang dan pembeli hilir mudik tanpa henti. Di mulut pasar, seorang pedagang batik sibuk melayani pembelinya. Di kios sebelahnya, terdapat pedagang yang menjual aneka barang yang terbuat dari kuningan. Kios ketiga menjual penganan kecil. Kios berikutnya adalah kios yang menjual buah- buahan. Terletak di samping kios penjual buah itu, adalah kios milik Mbah Wongso. Kios tersebut menjual beragam gerabah. Dari celengan, mangkuk, gelas, poci dan beraneka barang lain. Beberapa pengunjung tampak memegang dan memilih barang- barang yang mereka butuhkan. Sepasang suami istri menunjukkan beberapa buah celengan pada seorang anak lelaki berumur sekitar tujuh tahun. Anak itu memperhatikan celengan- celengan tersebut , lalu menunjuk salah satunya. “ Niki pinten, mbah ? “ , Ayah sang anak bertanya pada mbah Wongso, menanyakan harga celengan yang ditunjuk oleh anaknya. Mbah Wongso menjawab, mengatakan harga yang dimintanya. Lalu tawar menawar terjadi. Kesepakatan tercapai. Ibu si anak menyodorkan uang pada mbah Wongso, kemudian memberikan celengan yang baru saja dibeli pada anaknya yang terlonjak gembira. Mbah Wongso tersenyum. Tingkah kanak- kanak yang polos selalu menyenangkan hati. Setelah suami istri beserta anak mereka meninggalkan kiosnya, mbah Wongso mengalihkan perhatiannya pada pengunjung kios yang lain. Semua berjalan seperti biasa. Tak satupun dari para pengunjung kios itu yang menduga bahwa di dalam ruangan dibalik pintu yang terletak di belakang tumpukan gerabah itu ada beberapa pendekar sedang berkumpul. Pendekar Misterius dan pendekar Wolu Likur duduk bersisian. Di hadapan mereka duduk seorang pendekar lain. Pendekar ini berkulit bersih, tampan, dengan pembawaan yang tampak sangat tenang. “ Dukuh Sangkor ini letaknya sekitar sehari perjalanan dari Dukuh Lebak, “ Pendekar Gegurit Wungu, sang pendekar tampan itu, berkata pada kedua orang yang duduk di hadapannya. Kedua pendekar yang diajaknya bicara mengiyakan. “ Beberapa pendekar terbaik dari Padepokan Rumah Kayu akan dikirimkan untuk menemani dalam perjalanan, “ kata Pendekar Misterius pada Pendekar Gegurit Wungu. “ Malam ini mereka sudah akan tiba di Trowulan. Istriku akan mengatur keberangkatan mereka dari padepokan ke Kotaraja ini. “ Pendekar Gegurit Wungu mengangguk. Pendekar Misterius serta istrinya, Nyai Daunilalang adalah kawan lama Pendekar Gegurit Wungu. Mereka kerap kali bertemu dalam pertemuan- pertemuan para pendekar pujangga, pendekar- pendekar yang memiliki minat dalam sastra. Segera setelah memperoleh kabar datang ke Pawon ManteraKata mengenai tempat dimana Kiran diculik, kabar itu diteruskan ke beberapa pendekar dalam jaringan Para Pelindung Yang Tersumpah. Pendekar Gegurit Wungu adalah salah seorang pendekar yang menerima kabar tersebut di tempat kediamannya, Joglo Abang. Dan segera setelah dia mengetahui bahwa tempat dimana Kiran menghilang adalah Dukuh Sangkor, dia mengajukan diri untuk berangkat ke sana. Dukuh Sangkor merupakan daerah yang dikenalinya, sebab dia memiliki beberapa kerabat yang tinggal di Dukuh Lebak, tak jauh dari Dukuh Sangkor. Pengenalan terhadap tempat akan menjadi hal yang menguntungkan di saat pencarian seperti ini.

***

Ketiga pendekar di ruang belakang kios gerabah masih terus membicarakan lebih rinci mengenai rencana pencarian Kiran ketika pintu yang menghubungkan ruangan dimana mereka berada dengan kios gerabah terbuka. Seorang pendekar bermata tajam berdiri di muka pintu. Tak seorangpun dari mereka mengenalnya. Hal itu disadari oleh pendekar yang baru datang itu. “ Sang Surya Terbit dan Menanyakan Hujan, “ segera pendekar bermata tajam itu mengucapkan kata sandi. “ Perkenalkan, namaku Pendekar Padi Emas dari Bukit Sangian… “ ( bersambung )

** gambar diambil dari kompas.com **

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun