Poster-poster itu berjejer rapi di lorong-lorong Stasiun Shinjuku. Mereka berdiri seperti barisan altar baru, bukan lagi menampilkan wajah perdana menteri atau iklan pasta gigi yang menjanjikan senyum bersinar. Melainkan foto seorang pemuda dengan senyum setengah yakin dan tulisan berbunyi: "Selamat Ulang Tahun, Daichi-sama."
Tidak ada yang tahu siapa Daichi, kecuali mereka yang tahu. Yang tahu terlalu banyak, yang tak tahu tak pernah merasa perlu tahu. Tapi poster itu dibayar. Dibayar mahal. Oleh siapa? Oleh wanita-wanita dengan dompet tipis dan harapan tebal. Para pekerja kantoran paruh baya yang menahan lelahnya di dalam kereta, memeluk keyakinan bahwa membayar perayaan ulang tahun untuk seorang anak muda yang belum tentu tahu nama mereka adalah bentuk cinta paling jujur yang tersisa dari sistem ekonomi yang telah memperla...
**
Namanya oshikatsu, sebuah istilah yang terdengar seperti nama samurai atau ramen instan. Ia bukan sekadar tren. Ia adalah agama tanpa kitab suci, tapi penuh dengan liturgi. Sebuah iman yang dibayar tunai. Di tengah inflasi dan jam kerja yang panjang, aktivitas ini berkembang. Seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak bisa saja menyisihkan gaji suaminya untuk mencetak kartu bergambar idola 2D, sementara seorang manajer paruh baya menyimpan lebih banyak merch idola pria ketimbang sertifikat pelatihan kerja.
Para pemilik iklan tahu, dan mereka tidak keberatan. Mereka tahu ekonomi sedang menua, tapi bukan berarti tak bisa dicolek. Mereka tahu kalau orang-orang sudah kehilangan teman, dan butuh alasan untuk pulang. Maka poster ulang tahun di stasiun bukan hanya untuk Daichi, tapi juga untuk perempuan berumur 58 tahun yang merasa bahwa ia lebih hidup saat melihat senyum itu di balik poster vinyl mengilap.
**
Daichi mungkin tidak tahu siapa mereka. Tapi mereka tahu siapa Daichi. Mereka tahu golongan darahnya, ukuran sepatunya, bahkan makanan yang tidak ia sukai (bayam rebus). Dan itu cukup. Dunia tidak lagi menuntut hubungan timbal balik, cukup searah, selama bisa dibayar. Di sinilah oshi dan katsu menyatu: dukungan dan aktivitas, cinta dan transaksi.
Seorang pemuda kurus, mengenakan hoodie lusuh dan membawa gacha idola di tasnya, pernah berkata: "Daripada menyukai seseorang yang tidak menyukai kita, lebih baik menyukai orang yang tidak mungkin menyukai kita." Kalimat itu terdengar menyedihkan. Tapi ia juga logis. Dunia nyata lebih sering menghancurkan ekspektasi, sedangkan dunia oshikatsu hanya meminta satu: jangan berharap dibalas.
**
Ada yang menyebut ini pemborosan. Tapi uang memang tidak selalu dibelanjakan untuk kebutuhan. Uang, sejak awal, adalah alat tukar harapan. Apa yang lebih wajar daripada menukar 250.000 yen setahun demi rasa 'terhubung'?