Di pojok kota Roma yang tak disebut dalam puisi, terdapat sebuah bangunan rendah yang remang-remang. Di dalamnya, berjajar lubang-lubang batu yang menyambut bokong siapa saja tanpa pandang kasta. Bangunan itu bernama foricae.
Orang-orang menyebutnya: tempat kotor dengan percakapan bersih.
Di sinilah Lucius, seorang budak cerdas yang kehilangan namanya tapi tidak kehilangan ironi, menghabiskan pagi-pagi dengan spons laut di tangan dan doa dalam dada.
**
"Pagi yang indah untuk sembelit," kata seorang pedagang garam, duduk di samping Lucius.
Lucius tersenyum. "Kalau lambung Anda keras, mulut Anda biasanya lebih lunak."
Tertawa kecil terdengar, bersamaan dengan suara air yang terus mengalir di bawah lubang-lubang batu. Aliran itu bukan sungai suci, tapi kanal yang membawa hasil perenungan perut warga Roma menuju Cloaca Maxima, sistem pembuangan yang lebih tua dari sebagian dewa.
**
Di dinding, ada tulisan: "Jangan lupa mencelupkan tersorium ke air garam sebelum dipakai kembali." Tapi tak semua bisa baca. Dan tak semua peduli.
Lucius tahu: di foricae, satu penyakit bisa menjelma jadi manifesto sosial. Sebab yang duduk berdampingan bukan hanya bokong-bokong yang berbeda nasib, tapi juga penyakit yang melompati kelas seperti akrobat.