Pernahkah Anda menghitung berapa banyak energi listrik yang habis hanya untuk mempertahankan drama cinta di WhatsApp dan pertarungan Mobile Legends di malam hari? Smartphone bukan cuma bikin mata lelah, tapi juga bikin pembangkit listrik kerja keras demi scroll TikTok Anda.
1. Listrik dalam Genggaman: Fakta dan Angka di Balik Scroll Harian
Menurut laporan We Are Social (2024), warga Indonesia menghabiskan rata-rata 5 jam 25 menit per hari menggunakan internet via HP. Dengan populasi pengguna aktif smartphone sekitar 180 juta orang, bisa dibayangkan berapa energi yang tersedot. Satu ponsel rata-rata mengonsumsi 2 watt per jam. Itu berarti 10 watt-hour (Wh) per orang per hari. Jika dikalikan 180 juta pengguna, hasilnya 1.800.000.000 Wh atau 1.800 MWh. Ini setara dengan hampir 75% kapasitas produksi harian satu pembangkit listrik skala besar. Cukup untuk menyalakan 2.000 sekolah dasar.. Namun energi sebesar ini bukan untuk pendidikan atau penelitian ilmiah, melainkan untuk menonton video kucing, prank pasangan, dan stalking mantan.
2. Satu Jempol Seribu Megawatt: Komedi Tragis Dunia Digital
Setiap kali Anda menekan tombol like, ada aliran listrik yang berpindah. Bukan cuma dari baterai HP, tapi dari PLTU, PLTG, bahkan jaringan distribusi nasional. Satu klik mungkin tidak terasa, tapi ketika dilakukan jutaan orang dalam sehari, beban itu menjadi nyata. Lucunya, kita tidak sadar bahwa dengan tiap swipe, kita mengonsumsi sumber daya. Yang kita cari adalah validasi sosial, bukan efisiensi energi. Yang kita incar adalah pujian digital, bukan keberlanjutan nasional.
3. Charger Menjadi Komoditas, Colokan Menjadi Perebutan
Pernahkah Anda melihat anak muda memilih tempat duduk di kafe bukan berdasarkan kenyamanan, melainkan kedekatan dengan colokan? Colokan listrik kini menjadi barang sakral, lebih diburu daripada promo kopi atau diskon ongkir. Ketika listrik padam, kita baru sadar bahwa candu terhadap layar jauh lebih besar daripada candu terhadap gula. Pemandangan umat manusia berjongkok di dekat dinding hanya demi baterai adalah ironi. Kita hidup dalam era di mana hubungan sosial ditentukan oleh panjangnya kabel charger dan kekuatan sinyal Wi-Fi.
4. Dari Daya ke Daya Tarik: Ketika Energi Berubah Fungsi
Energi listrik awalnya hadir untuk penerangan, industri, dan kemajuan bangsa. Kini, 1.800 MWh per hari disalurkan untuk kebutuhan eksistensial: update status, posting makanan, dan nonton drama Korea. Kita jadi bangsa yang kuat di daya HP, tapi lemah dalam daya pikir. Pendidikan kalah dengan hiburan. Pembangunan kalah dengan konten. Jika dulu listrik memfasilitasi revolusi industri, kini ia memfasilitasi revolusi konten. Pembangkit listrik bekerja siang malam, bukan untuk menyalakan lampu sekolah, tapi untuk mempertahankan streak Snapchat.
5. Solusi Tanpa Colokan: Rehat dari Dunia Digital
Revolusi mental bukan cuma soal ideologi, tapi juga soal energi. Cobalah sehari tanpa HP. Mungkin bukan revolusioner, tapi cukup untuk menyadari bahwa dunia nyata masih ada. Kita bisa kembali mendengar suara manusia, bukan hanya suara notifikasi. Kita bisa kembali melihat wajah orang, bukan hanya layar. Mulailah dari yang kecil: matikan auto brightness, kurangi screen time, dan bicaralah pada sesama manusia. Hemat energi bukan sekadar hemat tagihan, tapi juga hemat kewarasan.
6. Colokan Adalah Simbol Status Sosial Baru
Di zaman dulu, orang menunjukkan status lewat mobil atau rumah. Kini, cukup punya colokan cadangan di kafe, Anda jadi pahlawan. Bahkan hubungan pertemanan bisa rusak hanya karena tidak meminjamkan kepala charger. Colokan kini lebih diperebutkan daripada pasangan halal. Bayangkan: dua mahasiswa saling tatap, satu pegang powerbank, satunya lagi pegang cinta. Yang menang? Yang punya adaptor. Begitulah cara teknologi mereduksi nilai-nilai sosial. Daya jadi simbol kasih sayang. Baterai jadi tolok ukur kepedulian.
7. Dari Kantor Sampai Kamar Mandi: Tiada Tempat Tanpa Layar
Dulu, kamar mandi adalah tempat merenung. Kini, ia adalah tempat konten viral lahir. Orang tak lagi membawa buku ke toilet, melainkan smartphone. Kita menyiram air, lalu menyiram notifikasi. Tak peduli lagi ruang privat atau publik, selama ada sinyal, di situlah ruang kerja, hiburan, dan bahkan hubungan dibangun. Kita terseret ke dunia di mana energi tidak hanya digunakan untuk keperluan vital, tapi untuk mempertahankan eksistensi di dunia maya yang seringkali tak nyata.
8. Ketergantungan Digital: Ketika Mati Lampu Jadi Bencana Emosional
Mati lampu di masa lalu adalah romantisme lilin dan dongeng nenek. Kini, mati lampu adalah tragedi nasional. Anak-anak menangis bukan karena gelap, tapi karena tak bisa main game. Orang dewasa uring-uringan karena tak bisa kerja---atau lebih tepatnya, tak bisa scroll beranda. Ketika listrik mati, relasi sosial ikut padam. Rumah jadi sunyi bukan karena kekhusyukan, tapi karena panik kehilangan jaringan. Kita hidup dalam budaya yang membuat listrik lebih penting dari bahasa ibu. Kalau dulu orang tua berkata, 'belajarlah yang rajin,' kini mereka berkata, 'cas dulu HP-mu.'
9. PLN Bekerja, Kita Bersenda Gurau
PLN barangkali lembaga paling tabah di Indonesia. Mereka terus menyediakan daya, meski tahu energinya digunakan bukan untuk riset atau belajar, tapi untuk video dance 15 detik. Bayangkan betapa pilunya insinyur listrik yang bercita-cita membangun negeri, tapi justru menyuplai daya ke konten prank pura-pura kesurupan. Listrik yang dulu sakral, kini jadi konsumsi massal untuk hal-hal remeh. Tapi begitulah zaman, ketika yang viral adalah hiburan, dan yang sunyi adalah perenungan.