Dulu, ketika listrik belum selalu menyala dan gawai belum seramah ini menyedot perhatian anak-anak, lagu anak-anak masih punya panggung di ruang tamu, di halaman rumah, dan di kelas TK yang dindingnya penuh poster huruf-huruf berwarna cerah. Tapi hari ini? Adik saya yang kelas 2 SD lebih hapal sound TikTok dari pada lirik 'Naik Delman'. Ia bisa menirukan goyangan dari Korea, tapi bingung lagu 'Pelangi-Pelangi' itu judul atau makanan.
Anak-anak Tak Lagi Bernyanyi, Mereka Scroll
Sebuah studi dari SSRN (2024) mencatat bahwa TikTok dengan konten cepatnya memangkas rentang perhatian anak-anak. Dampaknya, mereka lebih mudah mencerna beat 15 detik daripada lirik satu lagu penuh. Ini seperti mencoba menyajikan sayur bayam di tengah banjir donat warna-warni. Lagu anak-anak, yang dulu dihafal untuk tampil di perpisahan sekolah, kini ditinggalkan karena tak punya filter glitter dan potongan meme kucing nangis.
Ki Hajar Dewantara dalam bukunya menekankan pentingnya lagu dalam membentuk karakter anak-anak. Hari ini, lagu-lagu yang viral lebih sering bicara soal cinta yang disakiti dan pamer saldo rekening. Bahkan boneka di iklan susu formula pun sekarang lebih enerjik daripada anak-anak di taman bermain.
Gadget dan Joget: Kombinasi Fatal untuk Lagu Edukatif
Penelitian dari Wiley (2023) menunjukkan bahwa lagu-lagu anak memiliki struktur yang mempermudah pembelajaran fonetik, ritme, dan kosa kata. Namun apa daya, struktur ini kalah seksi dibanding sound remix ala 'DJ TikTok slow ver. sambil menangis di pojokan'. Buku Soedjarwo (1986) bahkan mencatat bahwa musikalitas anak berkembang dari nyanyian ringan, bukan dari konten viral yang potongan syairnya ambigu antara 'i love you' dan 'i left you'.
Saya pernah bertanya pada adik saya, 'Kau tahu lagu Bintang Kecil?' Ia menjawab, 'Tahu! Versi yang ada DJ-nya kan?' Saat itu saya sadar, kita bukan lagi generasi penghafal lirik, tapi penghafal suara pendek yang bisa di-skip kalau tak lucu. Dari jurnal ResearchGate (2022), musik di TikTok memang mempercepat adaptasi musikal, tapi mengorbankan kedalaman dan nilai edukatif.
Sound of Distraction: Musik Tanpa Makna
Remix lagu anak menjadi konten sarkastik adalah bentuk paling sopan dari penghinaan terhadap masa kecil. Dalam jurnal dari Unesa (2023), disebutkan bahwa anak-anak kini lebih mengenali versi 'meme-able' dari lagu daripada aslinya. Alih-alih mengembangkan bahasa, mereka belajar intonasi dari tren sindiran atau lipsync sinis.
R. Soedibyo pernah menulis bahwa musik anak adalah upaya menyusun harmoni batin. Kini harmoni itu dibajak oleh algoritma. Kita menciptakan anak-anak yang cepat hafal irama, tapi pelupa terhadap makna. Sebuah jurnal dari ScienceDirect (2024) bahkan mengusulkan pendekatan ulang terhadap TikTok dalam konteks edukasi gerak, tapi... siapa yang bisa mengajari moral lewat joget 'muter-muter'?
Musik Tradisional: Dihapus, Dibuang, Dilupakan
Penelitian dari China (2024) menyentil realitas Asia: musik tradisional kalah oleh dominasi budaya Barat di sekolah dasar. Indonesia tidak jauh berbeda. Lagu daerah ditinggalkan karena tak bisa dijadikan konten viral. Siapa yang mau nonton anak menyanyi 'Ampar-Ampar Pisang' kalau tidak diselingi prank?
Padahal menurut jurnal DigitalCommons (2023), musik rakyat harusnya diprioritaskan dalam pendidikan dasar untuk memperkuat akar budaya anak. Namun yang terjadi justru sebaliknya---budaya lisan tergilas oleh gaya bicara seleb TikTok. Anak-anak tahu siapa Atta Halilintar, tapi bingung ketika ditanya siapa pencipta lagu 'Ibu Kita Kartini'.
Kehilangan Masa Kecil di Era Filter dan For You Page
Penelitian BERA Journal (2023) menyebutkan bahwa menyanyi adalah aktivitas sosial yang membentuk identitas dan ekspresi anak. Namun hari ini, ekspresi lebih sering dilakukan lewat emoji dan template dance. Kita kehilangan anak-anak yang bisa menyanyi bersama, digantikan dengan anak-anak yang bisa joget tanpa tersenyum.