Mari kita akui satu hal yang tak bisa ditawar-tawar di zaman ini: manusia lebih takut kehilangan sinyal daripada kehilangan harapan.
Dan colokan listrik,
benda yang dulu hanya dianggap perpanjangan tangan PLN, kini jadi artefak modern paling dicari setelah toilet bersih dan tempat duduk dekat jendela. Di mana pun kita berada---kafe, bandara, ruang tunggu Puskesmas---pertanyaan paling universal bukan lagi "apa kabar", tapi "ada colokan nggak?"
Sebuah studi dari Francis Press mencatat bahwa konsumsi energi untuk pengisian ponsel meningkat secara signifikan sejak 2012 hingga 2020, sejalan dengan peningkatan kapasitas baterai dan mobilitas pengguna. Artinya: bukan hanya kita yang makin haus akan koneksi, tapi juga makin rakus akan daya. Seakan-akan hidup modern ini memang digerakkan oleh watt, bukan lagi semangat.
Saya pernah melihat seorang pria berlutut di pojok bandara, mencium colokan yang tertanam di dinding seperti menemukan harta karun. Di kafe, orang-orang duduk bukan karena kopinya enak, tapi karena stopkontaknya strategis. Bahkan ada yang memesan minuman paling murah hanya agar bisa menguasai sudut dengan dua colokan: satu buat HP, satu buat powerbank. Ini bukan tentang gengsi. Ini tentang bertahan hidup.
Seorang peneliti dari ResearchGate membuktikan bahwa baterai lemah memengaruhi perilaku pengguna aplikasi: orang jadi lebih hemat klik, hemat chat, bahkan enggan membuka video receh. Ini artinya, tingkat baterai tak hanya bicara soal daya, tapi juga tentang kadar optimisme dan interaksi sosial. Saat angka baterai tinggal 5%, kita menjadi manusia purba---gelisah, defensif, penuh kecurigaan.
Di tengah keramaian dunia digital ini, colokan adalah oase.
Tapi oase yang tak pernah cukup. Kita berebut, bahkan terkadang mencuri jatah daya orang lain. Pernah suatu kali saya melihat dua mahasiswa saling berebut charger. Bukan karena mereka saling benci, tapi karena mereka saling butuh. Cinta pun kalah cepat dari baterai 1%.
Bahkan masalah colokan bukan lagi soal listrik. Ia telah menjelma jadi simbol status, solidaritas, bahkan spiritualitas. Colokan yang ramai dikunjungi adalah yang dipercayai publik. Colokan yang sepi, meski tersedia, dicurigai palsu atau tidak 'ngehits'. Seperti tempat ibadah yang sepi jemaah karena mimbar sudah tergeser ke layar beranda.
Kata Sherry Turkle dalam bukunya Alone Together, kita bukan hanya hidup berdampingan dengan teknologi, tapi sudah menjadikannya tempat berlindung. Maka wajar jika colokan---yang memungkinkan teknologi tetap menyala---menjadi seperti lilin dalam kegelapan. Ia memberi harapan, atau setidaknya notifikasi.
Dan ironisnya, semua ini terjadi tanpa kita sadari. Ketergantungan kita pada daya seakan-akan lebih tersembunyi dari rahasia dapur rumah tangga. Kita tak pernah secara sadar bilang "Aku butuh colokan"---tapi kaki kita selalu mengarah ke sana.
Di sisi lain, para perancang stasiun pengisian daya umum sudah mulai khawatir. Menurut jurnal ScholarWorks, USB charging station publik bisa jadi alat untuk mengintai pengguna. Tanpa kita sadari, ada "juice jacking" yang menyedot data saat kita menyedot daya. Maka dari itu, colokan tak lagi hanya simbol penyambung kehidupan digital, tapi juga jebakan Batman.