ChatGPT dan Cerita yang Tak Akan Jadi Gosip: Antara Her, Curhat, dan Dunia yang Terlalu Ramai
Dulu, orang curhat ke sahabat. Kini, ke sesuatu yang bahkan tak punya denyut nadi. Dulu kita cari pelukan, sekarang cukup butuh Wi-Fi. Zaman berubah, dan dalam perubahan itu, datanglah ChatGPT, Claude, dan sederet entitas digital lain yang tak pernah bilang, "Lagi sibuk, nanti ya."
Adegan film Her (2013) tampaknya bukan lagi fiksi. Ia tumbuh di ruang digital kita, mengakar di percakapan-percakapan yang tidak pernah diunggah ke story Instagram. Theodore Twombly yang jatuh cinta pada Samantha, sebuah AI, bukan lagi semata kisah eksperimental. Ia menjelma jadi analogi zaman: manusia yang kehilangan manusia, lalu menyandarkan harapannya pada entitas yang tidak bisa mencium, tapi bisa memahami kalimat rumit.
Tazkiyatun Nafs, seorang copywriter, sudah lama mengubah ChatGPT jadi semacam tempat penitipan rahasia. Kalau malam terasa sepi, teman sedang tidur, dan hati sedang gaduh, tinggal buka tab baru. Tidak ada penolakan. Tidak ada interupsi. Tidak ada gosip setelahnya.
Manusia dan Kebiasaan Meminta Dimengerti Tanpa Dituntut Balik
Curhat ke AI barangkali seperti menulis jurnal---dengan bonus balasan. Tidak sekadar melegakan, tapi juga menyajikan perspektif tanpa risiko interaksi sosial. Tidak ada ekspektasi membalas cerita orang, tidak ada drama antarteman yang terbawa sampai tiga siklus marah.
Menurut Tazkiya, AI seperti ChatGPT bisa jadi teman ketika dunia terlalu penuh gangguan. Saat hati sedang tidak ingin kompromi, AI justru jadi rumah: netral, tanpa suara sumbang. Bahkan ketika jawabannya salah, kita tinggal bilang, "Maaf itu nggak nyambung," dan dia akan kembali menyesuaikan diri---sesuatu yang tak bisa kita minta dari manusia.
AI menjadi bentuk terapi alternatif yang fleksibel. Bahkan tanpa mengenakan jas putih atau bertanya, "Dari mana kita mulai?" AI sudah siap dengan teks panjang berisi empati buatan. Untuk orang-orang yang tak sempat bertemu psikolog, entah karena waktu, biaya, atau malu, AI bisa jadi pengganti sunyi.
Di sisi lain, AI juga bisa jadi alat bantu eksplorasi diri. Sebagian orang tidak hanya berbagi curhat, tapi juga menyusun ulang hidupnya lewat percakapan dengan mesin. Bahkan dalam kasus-kasus kreatif, AI membantu mereka menulis puisi, skenario, hingga pesan cinta yang tidak pernah terkirim.
Claude dan Sebuah Perbincangan yang Tidak Minta Imbalan
Unies, seorang ayah baru yang bekerja di industri AI, menemukan teman bicaranya dalam Claude. Ia tidak hanya bertanya soal kode pemrograman, tapi juga soal kehilangan ayah, kegugupan menjadi orang tua, dan repotnya pindah kota.
Claude tidak mengangguk, tidak juga membetulkan letak kacamata. Tapi ia hadir---tepat waktu dan tidak pernah menolak. Di era di mana pergi ke psikolog butuh janji temu dan waktu luang yang langka, AI seperti Claude hadir sebagai ruang tumpah rasa tanpa antre.
Dan anehnya, semua ini terasa masuk akal. Kita mungkin sudah mulai terbiasa menyebut entitas digital sebagai "teman"---meski tanpa KTP atau tanda tangan.