Kalau kata Opta, PSG punya peluang 45,4% menang lawan Arsenal. Tapi kalau kata tetangga depan rumah saya yang fans berat Gunners, peluang Arsenal menang itu 110%, karena "sudah waktunya". Ini bukan cuma soal statistik, tapi soal dendam, doa, dan dendeng yang dimakan sambil nonton bola.
Superkomputer boleh pintar, tapi kadang lupa bahwa sepakbola bukan sekadar algoritma, melainkan algoritma yang dikacaukan oleh kaki kanan Zinchenko atau perasaan tidak enak di dada Arteta.
Pertandingan PSG vs Arsenal dini hari nanti
memang tampak seperti parade angka. PSG unggul agregat 1-0, Dembele sudah mencetak 8 gol di Liga Champions musim ini, dan Opta telah menyimulasikan laga ini 10 ribu kali. Ya, Anda tidak salah baca. 10 ribu kali. Kalau kita pakai itu untuk hitung cicilan rumah, mungkin utang KPR kita bisa lunas sebelum laga kick-off.
Tapi siapa yang benar-benar percaya angka?
Barcelona juga dulu dijagokan menang lawan Inter oleh mesin pintar yang sama. Tapi kenyataannya, Barcelona pulang dengan agregat seperti struk belanja: panjang, tapi isinya menyedihkan. Jadi mari kita sepakat: superkomputer adalah alat bantu, bukan alat sakti.
Apalagi ini sepakbola, olahraga yang bisa berubah nasibnya hanya karena:
1. Wasit batuk.
2. Kiper kebelet buang air.
3. Atau pemain tertukar kaos kaki keberuntungannya.
Dan bicara soal Arsenal, mereka sedang berada dalam fase "jangan pernah anggap remeh kami". Dalam 10 tahun terakhir, mereka sudah lebih sering diprediksi kalah ketimbang cuaca di Jakarta diprediksi hujan. Tapi entah kenapa, Arsenal selalu punya tabiat bikin kejutan, seperti mantan yang tiba-tiba kirim pesan di malam sebelum tunanganmu.
Kita bisa berdebat soal lini tengah, soal kedalaman skuad, soal Arteta yang katanya meniru Pep sampai gaya potong rambut. Tapi tak ada satupun variabel itu yang bisa masuk ke model superkomputer.