Indonesia hari ini seperti cowok yang punya gebetan dua: satu nambah berat badan karena bahagia (IHSG), satu lagi kurus kering karena overthinking (Rupiah). Menurut TEMPO, pada Rabu 7 Mei 2025, IHSG naik 0,41 persen ke level 6.296, sementara rupiah melemah 0,53 persen ke 16.536 per dolar AS. Ada yang optimis di bursa, tapi ada juga yang ngos-ngosan di meja tukar valuta.
Kita tahu dunia sedang tidak baik-baik saja ketika uang kertas yang kita simpan mulai terlihat seperti lembar kenangan: makin banyak, makin tidak bernilai.
IHSG menguat, katanya.
Transaksi tembus Rp 15,6 triliun. Saham HUMI, NICL, BATR, ISEA, AYLS, dan MPXL semua mencatat kenaikan. Nama-namanya terdengar seperti boyband Korea atau nama kuis di TVRI, tapi nilainya nyata---naik puluhan poin. Sementara itu, rupiah melemah, katanya. Jisdor mencatat 16.533 per dolar, turun dari 16.472. Ini artinya, gaji kita makin kecil bila dikonversi jadi mimpi ke luar negeri.
Jika dulu dengan Rp10 juta kita bisa beli tiket ke Bangkok dan makan tom yum, sekarang uang segitu mungkin hanya cukup untuk tiket dan... doa supaya rezeki nambah.
Erwin Gunawan Hutapea dari Bank Indonesia bilang, rupiah sempat menyentuh 17.000 per dolar di pasar luar negeri pasca Lebaran. Tapi katanya sekarang sudah membaik, tinggal di angka 16.500-an. Menurut BI, itu hasil intervensi mereka. Tapi entah kenapa, rakyat kecil lebih percaya intervensi emak-emak tukang sayur ketimbang pasar valas.
Karena emak-emak tahu, kalau harga cabai naik, itu bahaya. Tapi kalau dolar naik, masih bisa ditahan---asal Indomie tetap lima ribu.
IHSG naik memang menggembirakan.
Tapi seperti teman yang baru pulang dari gym, kita harus tanya: itu otot atau cuma bengkak?
Karena kalau rupiah melemah di saat yang sama, bisa jadi ini bukan pertumbuhan, tapi kompensasi. Pasar saham bergerak bukan karena kekuatan fundamental, tapi karena pelarian modal. Kapital yang panik biasanya masuk ke pasar saham seperti orang yang kehilangan arah masuk masjid karena hujan---bukan karena niat, tapi karena terpaksa.
Tentu ada yang diuntungkan. Investor saham tersenyum sambil membuka aplikasi trading-nya. Tapi pedagang kaki lima yang harus beli bahan baku impor, bisa-bisa hanya bisa mengelus-elus etalase kosong. Kita tahu ini serius saat tahu-tahu harga tahu juga naik.
Sementara itu, rakyat biasa tetap seperti biasa:
 hidup antara dua layar. Satu layar menunjukkan angka-angka indeks saham yang naik, satu lagi menunjukkan saldo rekening yang stagnan. Yang naik grafik, yang turun daya beli.