Zahira sebentar lagi dua bulan. Dua bulan yang cepat, dua bulan yang berisik, dua bulan yang penuh air susu, popok, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang biasanya hanya muncul di filsafat modern: "Sudah cukupkah aku jadi orang tua?"
Lalu datanglah pertanyaan klasik dari ibunya:
"Kak, nanti Zahira ditindikmi di'?"
Saya langsung diam. Bukan karena tidak setuju. Tapi karena ini pertanyaan yang tak pernah saya latih jawabannya. Waktu ikut kelas parenting, tidak ada sesi tentang "Bagaimana Menanggapi Ibu yang Minta Anak Ditindik."
Saya menatap wajah Zahira yang sedang tertawa sendiri menatap langit-langit. Mungkin dia melihat malaikat. Mungkin dia sedang tertawa pada nasibnya yang akan ditindik atas nama kelucuan.
Ibunya bilang, "Biar cantiki. Semua anak cewek ditindik memangi?"
Logikanya sederhana. Tapi kenapa dada saya sesak? Padahal saya sudah melewati banyak rasa sakit dalam hidup: ditolak kerja, ditinggal mantan, dicubit guru Kimia. Tapi membayangkan Zahira kecil---yang bahkan untuk menangis saja masih belajar nada---akan menangis karena tindik... rasanya seperti menonton drama yang kita tahu akhirnya menyakitkan, tapi tetap saja kita tonton.
Saya coba cari-cari alasan. "Takutnya demamki nanti?."
Ibunya menjawab, "Ya bisaji dibelikan Paracetamol bayi"
Saya geser argumen. "Kalau nanti besarki dan mau gaya tomboy? pasti bertanyaki kenapai telinganya ditindiki. Hehe"
Ibunya menatap saya seperti saya baru saja menolak Pancasila. "Ka anting ji itu bukanji kontrak kerja."