Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Masih Belajar Menjadi Manusia

Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan. Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Pemabuk dan Pezina yang Menghantarkan Kita ke Surga

6 Mei 2025   09:00 Diperbarui: 6 Mei 2025   09:00 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: Dokumentasi Pribadi Hasil Generate AI/chatgpt.com

Pagi itu belum benar-benar panas ketika saya duduk di bawah pohon asam. Orang-orang berduyun menuju rumah duka. Seorang tetangga wafat, dan sebagaimana adat yang tak tertulis tapi diwariskan lebih taat dari hukum negara, kami pun melayat.

Tak ada yang istimewa di kematian. Ia selalu datang seperti tagihan listrik: kadang lupa kita bayar, tapi tetap ditagih juga.

Yang istimewa justru penggali kuburnya.

Tiga orang. Dua di antaranya saya kenal. Yang satu sering duduk di warung sambil mengocok kartu remi dan bicara soal mimpi-mimpi koin-koin game slot. Yang satu lagi dikenal di kampung karena mabuknya mengalahkan tenggak. Dan yang ketiga... ya, tak jauh dari itu. Ada yang bilang ia pezina, ada yang bilang cuma kurang kerjaan. Tapi ketiganya kini sedang bekerja. Menggali liang.

Bukan liang sembarangan. Liang penghabisan. Dan mereka menggali dengan tekun, tanpa tertawa, tanpa gaduh. Sekop menari-nari di tangan mereka seperti alat musik yang tahu ritme takdir.

Saya berdiri agak jauh, memandangi mereka. Lalu semacam pikiran aneh menyergap saya seperti nyamuk di telinga waktu tidur: bagaimana mungkin manusia yang kita tuding sebagai "sampah" bisa begitu mulia perannya di ujung hidup kita?

Bayangkan, si pemabuk yang kita omeli, yang kita jauhi karena 'tak layak jadi teman anak-anak', justru yang menggali jalan bagi jasad kita menuju liang keabadian. Pezina yang kita sindir di balik layar pengajian ibu-ibu, justru yang menyiapkan peristirahatan terakhir kita. Ironi? Bisa jadi. Tapi lebih dari itu: ini semacam teguran.

Kita terlalu cepat memberi label.

Terlalu rakus menentukan siapa layak surga siapa layak neraka. Padahal yang mengantar kita ke kubur bisa jadi orang yang tak kita doakan masuk surga.

Kadang kebenaran datang dari arah yang tak sopan. Dan suara-suara yang lahir dari jalanan, dari orang-orang yang tak punya kredensial tapi menyimpan kebenaran dalam saku celana pendeknya.

Maka saya belajar satu hal hari itu. Bahwa dalam hidup ini, yang paling tak kita duga bisa jadi yang paling menentukan. Bahwa lubang kubur mungkin sempit, tapi lebih sempit lagi cara kita menilai manusia.

Kematian memang ajakan pulang. Tapi siapa yang membantu kita mengepak tas, menyusun kenangan, dan mengantar sampai pintu? Mungkin bukan ustaz. Bukan pula kiai. Tapi tukang gali yang sedang mabuk semalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun