Pagi tadi, ketika saya hendak berangkat mengajar, jalanan belum ramai betul. Matahari masih malu-malu, dan tukang ojek belum sepenuhnya bangun dari pikiran tentang cicilan motornya.
Di pinggir jalan, di antara tiang listrik yang penuh selebaran promo jasa service AC dan les privat, berdiri seorang kakek tua. Tangan kirinya memegang dua batang sapu lidi. Ya, hanya dua. Bukan dua ikat, bukan dua belas. Tapi dua batang sapu lidi, dijajakan dengan semangat seperti orang yang sedang menggelar flash sale akhir tahun.
Saya memperlambat langkah. Sejenak bertanya dalam hati: apa yang membuat kakek itu begitu yakin bahwa dua sapu lidinya akan laku di dunia yang hari ini lebih percaya pada vacuum cleaner dan robot penyedot debu?
Apakah dia sedang diuji oleh keadaan? Atau sedang menguji nurani orang-orang yang lewat?
Saya tak tahu isi sakunya. Mungkin kosong. Mungkin di rumah ada istri renta yang menunggu dengan harap-harap cemas, atau cucu yang belum sarapan sejak kemarin. Tapi satu hal yang saya tahu pasti: semangatnya pagi itu lebih bersih dari lantai manapun yang bisa disapu oleh sapu lidinya.
Dan di titik itulah saya terdiam.
Saya yang punya pekerjaan tetap. Saya yang punya gaji bulanan, punya ruang kelas yang menunggu, dan punya anak-anak didik yang menganggap saya seperti Google---sering ditanya tapi belum tentu dijawab. Saya yang kadang masih bisa memilih untuk bersantai, beralasan, dan menunda.
Padahal di depan saya, ada seorang kakek yang membawa hanya dua sapu lidi, dan dunia tetap menuntutnya untuk tidak menyerah.
Lalu saya teringat Ibnu Khaldun.
Bukan karena beliau pernah menjual sapu, tentu saja. Tapi karena ia pernah bilang bahwa pendidikan adalah fondasi dari eksistensi manusia. Bahwa manusia, dengan pikirannya, punya kecenderungan untuk berkembang. Bahwa pendidikan bukan sekadar hafalan pelajaran, tapi kemampuan untuk memahami keadaan---termasuk keadaan yang membuat seorang kakek tua tetap berdiri tegak walau hanya membawa dua batang harapan.
Menurut Ibnu Khaldun, pendidikan adalah proses yang membentuk daya tahan, keberanian, dan kemandirian. Maka mungkin kakek itu bukan cuma sedang berdagang, tapi sedang mengajarkan. Ia sedang memberi pelajaran tentang bertahan di zaman yang kadang terlalu cepat meninggalkan yang lemah.
Ia guru tanpa papan tulis. Ia murid yang tak pernah diwisuda, tapi lulus dari ujian hidup yang tak tercatat di rapor manapun.