Saya pernah mengajar seorang anak yang pintar, pendiam, dan jago menggambar peta buta Indonesia. Namanya Irsal. Ia bisa menggambar Sulawesi dalam satu tarikan garis tanpa bersin, sesuatu yang bahkan saya tak bisa lakukan tanpa memikirkan bentuk gorengan.
Irsal ini anak kelas enam SD. Suatu hari, dia datang ke kelas dengan membawa pertanyaan yang membuat saya terdiam cukup lama hingga kertas ulangan jatuh dari meja:
"Pak, kalau saya tidak ikut wisuda, saya tetap lulus, kan?"
Saya menatapnya, menelan ludah, dan bertanya balik:
"Kamu kenapa tanya begitu, Nak?"
Dan seperti banyak anak pintar lain yang punya empati lebih besar daripada dompet bapaknya, Irsal menjawab pelan, "Soalnya kata ibu, biayanya Rp450.000. Padahal uang tabung gas melon aja kami sudah utang sama warung depan rumah."
Wisuda.
Kata yang seharusnya bermakna bahagia, syukur, pencapaian. Tapi belakangan, di banyak tempat, kata ini lebih sering disandingkan dengan: iuran, kostum, sewa aula, dan cicilan.
Saya bukan penentang toga. Toga itu penting. Hitam, menjuntai, dan bisa menyembunyikan perut bapak-bapak yang mendadak ikut difoto keluarga. Tapi pertanyaannya: apakah toga lebih penting daripada isi tas sekolah? Apakah selembar jubah bisa menggantikan satu semester penguatan literasi dan numerasi yang tertinggal karena anak terlalu sibuk latihan yel-yel perpisahan?
Sekolah tempat saya mengajar bukan sekolah elit. Kami tidak punya AC di kelas, tapi kami punya cita-cita. Dan cita-cita itu bukan untuk tampil bagus di foto panggung, tapi untuk menyelamatkan anak-anak dari nasib yang sama seperti orangtuanya---yang kadang lebih sering menghitung tagihan listrik daripada jumlah halaman buku anaknya.
Beberapa orangtua bilang, "Ini momen sekali seumur hidup, Pak!"