Tanggal merah adalah candu kecil dalam kalender kita. Ia datang seperti oase, seolah-olah menawarkan jeda dari rutinitas kerja, kemacetan, dan atasan yang tak tahu kapan harus berhenti mengirim pesan WhatsApp. Tapi, sebagaimana candu, tanggal merah juga menyimpan ilusi: bahwa kita semua bisa libur.
Tanggal 1 Mei kembali ditandai sebagai Hari Buruh Internasional.
Pemerintah menetapkan hari itu sebagai hari libur nasional. Televisi menayangkan potongan-potongan dokumenter tentang sejarah buruh. Para pejabat mengganti foto profil mereka dengan ucapan 'Selamat Hari Buruh'. Tapi di sudut pasar, buruh bangunan tetap mengangkat semen. Di dapur warteg, ibu-ibu tetap menanak nasi. Di belakang layar, kurir tetap mengantarkan pesanan yang dibuat oleh orang-orang yang mengira dunia berhenti sejenak.
Hari libur tak selalu berarti 'libur'. Tidak semua orang bisa menaruh tubuhnya di atas kasur dan pikirannya di awan-awan nyaman. Sebagian tetap bekerja. Sebagian lain berhenti bekerja, tapi tetap lembur---dalam pikiran, dalam utang, dalam kecemasan soal hari esok.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2024 jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai lebih dari 59,32% dari total tenaga kerja. Artinya, sebagian besar dari kita tidak pernah benar-benar kenal yang namanya cuti, apalagi libur nasional. Hari libur hanya berarti satu hal: penghasilan berkurang.
Freelancer---yang katanya anak muda kreatif masa kini---mungkin bisa rebahan di kasur, tapi biasanya rebahan sambil lembur. Deadline tidak kenal tanggal merah. Klien justru lebih galak saat libur, karena mereka mengira semua orang sedang santai dan siap menerima revisi.
Buruh rumah tangga, petugas kebersihan, penjaga warung kelontong, dan para sopir ojek online---mereka adalah barisan sunyi yang membuat tanggal merah tetap hidup bagi yang lainnya. Tanpa mereka, hari libur hanyalah kalender kosong dengan ilusi kebebasan.
Ironisnya,
di tengah semua ini, Hari Buruh diperingati justru dengan cara yang sangat administratif. Parade, spanduk, sambutan pejabat. Kadang ada demonstrasi, tapi juga sudah mulai kehilangan daya gigit. Seperti lagu lama yang terus diputar, tapi tak lagi menyentuh.
Hari Buruh semestinya bukan tentang libur. Ia tentang pengakuan. Tentang rasa hormat. Tentang bagaimana negara memperlakukan warganya yang bekerja dengan tangan, peluh, dan waktu yang tak selalu dihitung sebagai jam kerja.
Dalam sejarahnya, Hari Buruh lahir dari perjuangan panjang: dari mogok kerja di Chicago pada 1886 hingga pengakuan internasional yang meluas. Tapi hari ini, ia kehilangan semangat subversifnya. Ia lebih sering menjadi hari diskon marketplace, bukan lagi hari perjuangan kelas.
Kita hidup dalam sistem yang membuat orang takut libur. Bukan karena mereka mencintai pekerjaan, tapi karena sehari tidak kerja bisa berarti seminggu tidak makan. Tanggal merah menjadi pengingat bahwa kelas pekerja belum tentu bisa beristirahat.