Di negeri ini, kebocoran soal ujian sudah seperti ritual tahunan. Ia datang bersama musim pendaftaran perguruan tinggi, mengendap di pojok-pojok ruang kelas, lalu meledak di media sosial. Tahun ini, UTBK SNBT 2025 tak luput dari musibah serupa. Bocor lagi. Pecah lagi. Dan seperti biasa, publik marah-marah, pemerintah mengutuk, lalu semua berjalan seperti semula.
Bahkan Kompas (2025) mencatat, modus kecurangan makin canggih. Tak lagi sekadar contekan di balik kemeja, tapi sudah merambah ke kamera tersembunyi di behel gigi dan earphone implan. James Bond pun mungkin tak terpikir sejauh itu. Kalau dulu yang bocor cuma jawaban di kertas buram, kini data biometrik pun rawan disabotase.
Tapi pertanyaan saya sederhana: Kalau ujian bisa bocor terus-menerus, kenapa nggak kurikulumnya sekalian? Bukankah soal ujian itu hanya turunan dari kurikulum? Kalau turunannya terus bocor, mungkin induknya juga bermasalah.
Kultur Bocor yang Diwariskan
Kebocoran ujian bukan hal baru. Dari Ujian Nasional zaman Orde Baru sampai UTBK era digital, modus operandinya berbeda, tapi tujuannya sama: memperbesar peluang lulus. Dalam Jurnal Pendidikan Indonesia (2020), disebutkan bahwa 70% siswa SMA pernah terlibat dalam kecurangan ujian, baik sebagai pelaku maupun penerima bocoran.
Tahun 2013, Kementerian Pendidikan nyaris membatalkan UN di 11 provinsi karena soalnya bocor. Tahun 2015, muncul skandal penjualan soal UN via SMS dan BBM. Tahun 2025 ini? Behel gigi dengan kamera, earphone nirkabel, bahkan sistem remote access untuk mengirim jawaban langsung ke peserta (Kompas.com, 2025).
Dari sini, kita bisa simpulkan: bukan sekadar soalnya yang bocor, tapi juga budaya integritasnya. Ada pasar gelap ujian yang tumbuh subur di balik wacana revolusi pendidikan. Di negeri ini, kecurangan adalah opsi, bukan jalan buntu.
Bocor di Mana-Mana: Dari Soal Sampai Gagasan
Saya jadi berpikir, kenapa soal ujian bocor? Karena soal itu disembunyikan. Disakralkan. Dijaga seolah-olah itu rahasia negara. Padahal, kalau dipikir-pikir, kenapa soal harus dirahasiakan? Apakah proses belajar itu sebetulnya tentang menguji kemampuan, atau menguji siapa yang berhasil menebak apa yang ditanya?
Kalau begitu, kenapa nggak sekalian saja kurikulumnya bocor? Toh, kurikulum kita juga tak pernah sepenuhnya transparan. Guru dan siswa tahu apa yang harus diajarkan, tapi kenapa diajarkan sering jadi misteri. Kurikulum 2013, Merdeka Belajar, semua terlihat megah di atas kertas, tapi sulit diterjemahkan di kelas (Kemdikbud, 2024).
Coba bayangkan, kalau kurikulum dibuka ke publik, dibahas seperti UU Cipta Kerja (tentu tanpa model kebut semalam). Rakyat tahu, siswa tahu, guru tahu---bukan cuma apa yang diajarkan, tapi juga kenapa. Mungkin, soal ujian tak perlu lagi dirahasiakan, karena esensi belajarnya sudah dipahami.
Finlandia, misalnya, tak pakai ujian nasional. Kurikulumnya terbuka, diajarkan berbasis proyek. Mereka percaya, pendidikan bukan soal menghafal, tapi mengasah kemampuan berpikir kritis (OECD, 2023). Kenapa kita ngotot pakai ujian, padahal hasilnya bocor terus?