Lautan, kata buku pelajaran SD, adalah hamparan biru yang tak bertepi. Biru seperti langit yang memantul di permukaannya, memberi kesan damai, tenang, dan abadi. Laut biru adalah semacam konsensus visual yang jarang dipertanyakan.
Sejak kecil, kita diajarkan bahwa laut itu biru, titik. Bahkan lagu anak-anak pun ikut meyakinkan kita: "Laut biru tempat bermain ikan." Tak pernah disebutkan, apalagi disarankan, kalau laut bisa hijau.
Tapi sains,
seperti biasa, suka membuyarkan romantisme. Penelitian terbaru yang dilakukan di Jepang mengungkapkan bahwa jutaan tahun lalu, lautan Bumi justru berwarna hijau.
Hijau, bukan biru. Lautan purba itu kaya akan zat besi, penuh dengan cyanobacteria yang memantulkan pigmen hijau, menjadikan samudera tampak seperti kolam rendaman teh hijau raksasa.
Sungguh pukulan telak bagi para pelukis impresionis yang selalu memuja biru laut sebagai lambang keabadian.
Hijau, selama ini, selalu kita asosiasikan dengan kesuburan. Lahan hijau, sawah hijau, taman kota yang rimbun. Hijau berarti tumbuh, hidup, dan sehat.
Tapi kalau laut hijau?
Mungkin kita akan langsung teringat pada limbah, alga beracun, atau air got yang menolak mengalir. Hijau di lautan tak selalu jadi pertanda baik.
Apalagi kalau kita membayangkan laut yang hijau itu berlendir dan berbau. Maka, lautan purba yang hijau justru menawarkan tafsir baru: bahwa warna tak selalu membawa makna yang kita inginkan.
Biru, di sisi lain, adalah warna yang kita sematkan pada sesuatu yang misterius tapi damai. Langit, laut, dan kadang-kadang, politik. Biru bikin kita merasa tenang, sekaligus mengingatkan bahwa ada sesuatu di luar sana yang belum bisa kita capai.
Tapi laut yang hijau? Laut hijau tak menawarkan romantisme. Ia mengingatkan kita pada sesuatu yang asing, bahkan mungkin berbahaya. Mungkin inilah sebabnya kenapa kita lebih suka laut biru ketimbang laut hijau, karena biru menawarkan ilusi stabilitas.