Emas, kata orang, adalah logam mulia. Mulia bukan karena akhlaknya, tentu saja. Sebab sejauh yang saya tahu, emas tak pernah ikut rapat kabinet atau gotong royong di pos ronda. Ia mulia karena sesuatu yang lebih tua dari akhlak manusia: nilai. Dan nilai, seperti yang sering kita saksikan di pasar atau di meja perundingan internasional, adalah sesuatu yang bisa naik-turun, seperti mood pacar yang tak kunjung dilamar.
Tapi jangan salah,
Di saat krisis datang mengetuk pintu, emas selalu dipanggil-panggil. Ia menjadi semacam safe haven, pelabuhan terakhir sebelum badai menenggelamkan kapal. Dolar boleh goyah, saham bisa gemetar, bahkan Bitcoin yang katanya masa depan finansial itu, bisa lunglai begitu regulator angkat bicara. Tapi emas? Ia tetap berdiri tegak. Seperti guru ngaji tua di kampung, yang tak peduli berapa kali cicilan motornya macet, tetap membaca kitab kuning dengan suara pelan tapi pasti.
Namun, di balik kilaunya yang tenang, emas menyimpan cerita lain. Cerita tentang ketakutan yang diwariskan turun-temurun. Ketika pasar bergejolak, perang meletus, atau politik gonjang-ganjing, manusia berbondong-bondong membeli emas. Bukan karena tiba-tiba jadi kolektor logam mulia, tapi karena panik. Ketakutan kolektif. Kita takut uang kertas menjadi seonggok tisu basah, takut saham kita tinggal kenangan, lalu kita cari sesuatu yang bisa digenggam erat---secara harfiah. Dan emas, dengan segala kilau dan beratnya, menawarkan ilusi keabadian.
Ilusi, ya. Sebab nilai emas juga naik-turun, meski tidak sesering hati para pejabat yang kampanye di musim pemilu. Dan saat emas melonjak tinggi, biasanya ada berita buruk di luar sana: resesi, perang, atau sesuatu yang melibatkan kata-kata "krisis global." Maka emas sebetulnya bukan instrumen keuangan murni. Ia adalah simbol. Simbol bahwa manusia, sejak zaman barter hingga zaman blockchain, belum pernah benar-benar bebas dari ketakutan.
Lucunya, kita menganggap emas sebagai investasi yang cerdas. Padahal, di saat-saat normal, emas cenderung membosankan. Ia tak menghasilkan dividen, tak memberi bunga. Ia hanya duduk diam di brankas atau menunggu dijual lagi. Tapi begitu ada isu krisis, ia jadi primadona. Seperti musisi lawas yang tiba-tiba naik daun gara-gara lagunya viral di TikTok. Kapan lagi lagunya Koes Plus trending lagi kalau bukan di saat nostalgia dijual mahal?
Dan ini terjadi berulang-ulang. Entah sudah berapa generasi yang jatuh cinta pada logam satu ini. Dari zaman para pedagang rempah yang menyeberang samudera demi sebatang emas, hingga emak-emak zaman sekarang yang khawatir anaknya lulus kuliah tapi nggak dapat kerja, lalu pelan-pelan mengumpulkan logam kuning itu, satu gram demi satu gram. Bukan demi investasi jangka panjang yang terencana, tapi lebih karena ketakutan jangka pendek yang tak terencana.
Tapi, mari kita mundur sebentar.
Kenapa harus emas? Kenapa bukan logam lain? Kenapa bukan tembaga, atau alumunium, atau besi yang bisa lebih berguna dalam konstruksi rumah? Emas itu, secara ilmiah, tak mudah teroksidasi. Ia tahan lama, tak karatan, dan tetap berkilau bahkan setelah disimpan di bawah bantal selama bertahun-tahun. Tapi jangan lupa, emas juga tak bisa dijadikan obeng, tak bisa digunakan untuk memaku, dan tak bisa bikin rumah Anda lebih kokoh. Nilainya ada semata-mata karena kita sepakat untuk memberinya nilai.
Teori kontrak sosial dalam sosiologi mungkin bisa menjelaskan ini. Kita semua, tanpa sadar, sepakat bahwa emas itu berharga. Kesepakatan ini begitu kuat sampai-sampai kita lupa bahwa di balik nilai emas, ada ruang kosong yang hanya diisi oleh kepercayaan kolektif. Begitu kepercayaan itu goyah, siapa tahu emas kita yang berkilau bisa jadi tak lebih berguna dari batu akik warisan ayah.
Di sisi lain, ada Bitcoin yang katanya the future of money. Digital, terdesentralisasi, tanpa batas negara. Tapi lihatlah perjalanannya. Harga Bitcoin bisa naik turun seperti roller coaster di Dunia Fantasi. Hari ini kaya, besok melarat. Bedanya, emas tak pernah sefluktuatif itu. Emas punya sejarah panjang sebagai penyelamat di saat panik. Bitcoin masih anak kemarin sore. Tapi Bitcoin mengusik status emas. Ada generasi yang mulai bertanya: "Apakah emas masih relevan?" Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi, pertanyaan itu akan terjawab. Tapi untuk sekarang, emas tetap jadi altar penyembahan ketakutan kolektif kita.
Dalam Islam, emas juga tak lepas dari perbincangan fiqih. Ia adalah salah satu bentuk maal (harta) yang wajib dikeluarkan zakatnya, dengan kadar tertentu. Jadi, emas tak sekadar benda mati, ia juga punya dimensi spiritual. Tapi, lagi-lagi, di balik kewajiban zakat itu, ada pengakuan bahwa emas adalah representasi kekayaan. Kekayaan yang tak hanya material, tapi juga sosial. Orang yang punya emas, dianggap punya kuasa, meski kuasa itu hanya sebatas bisa menggelar arisan lebih megah.