Di zaman ketika orang-orang berpikir siapa yang trending di YouTube, ada seorang Maha Bijaksana di Vatikan yang tak peduli siapa yang viral. Televisi? Sudah lebih dari tiga dekade tak disentuhnya. Paus Fransiskus. Seorang pemimpin 1,3 miliar umat Katolik, tapi justru memilih mematikan layar kaca, seperti seorang petapa yang menutup pintu guanya. Tapi jangan salah. Keheningan di balik pintu itu bukan tanda pengasingan. Justru di situlah suara yang paling nyaring berkumandang.
Janji kepada Bunda Maria, katanya.
Untuk tak lagi menonton televisi. Alasannya sederhana: televisi bukan untukku. Ia tak menyebut siaran apa yang terakhir ditontonnya---mungkin pertandingan San Lorenzo, klub bola kesayangannya di Buenos Aires. Tapi ia masih tahu skor klub itu. Bagaimana? Garda Swiss berbisik lirih, mungkin sambil berdiri tegak di sampingnya: "San Lorenzo menang 2-0, Yang Mulia."
Paus Fransiskus, dalam keheningan dari layar, justru berbicara lantang tentang dunia. Ia bicara tentang moderasi beragama, tentang kapitalisme yang tak punya nurani, dan tentang bumi yang menjerit perlahan. Dalam diamnya dari televisi, ia justru menjadi suara yang tak henti berdengung di telinga mereka yang mau mendengar.
Mari mulai dari yang pertama:
Moderasi beragama. Di negeri yang rentan terbakar oleh ujaran kebencian, kita tahu betul pentingnya kata ini. Moderasi, yang dalam bahasa Paus Fransiskus disebut sinodalitas, adalah berjalan bersama. Bukan sekadar berdampingan, bukan cuma saling sapa di pinggir jalan. Tapi sungguh-sungguh bertemu, berbagi langkah, merasakan denyut nadi yang sama.
Dalam sinodalitas, umat beriman diajak menjadi saksi dialog, bukan penghakim perbedaan. Dalam sinodalitas, yang dipelajari bukan hanya kitab suci sendiri, tapi juga cerita-cerita kecil dari umat lain: bagaimana mereka berdoa, bagaimana mereka berharap, bagaimana mereka terluka. Di Indonesia, negeri seribu pulau dan seribu ragam keyakinan, gagasan ini bukan sekadar cocok. Ia mutlak perlu.
Paus Fransiskus, sebagaimana diurai dalam jurnal Lumen yang mengupas relevansi sinodalitas di Indonesia, menekankan bahwa agama harus terbuka, bukan eksklusif. Seperti jalan raya yang tak menanyakan ke mana arahmu, tapi membiarkan semua kendaraan melintas, asal tak saling tabrak. Inklusif, tapi punya aturan lalu lintas. Toleransi, tapi tak membiarkan kekerasan lewat tanpa tilang.
Lalu, bergerak ke medan yang lain: kapitalisme neoliberal. Ah, ini bahasan yang mungkin membuat kantuk kalau di tangan ekonom. Tapi di tangan Paus Fransiskus, ini menjadi jantung ketidakadilan. Kapitalisme, dalam wujud neoliberalnya, adalah sistem yang menilai segala hal dari angka. Manusia diukur dari produktivitasnya, pohon dinilai dari berapa banyak kayu yang bisa dipotong darinya. Semuanya dikalkulasi, semuanya diperas.
Dalam ensiklik Laudato Si' dan Fratelli Tutti,
Paus melayangkan kritik tajam, yang tak kalah menyengat dibanding editorial di Le Monde. Kapitalisme neoliberal, katanya, telah mengerdilkan rasionalitas manusia menjadi sekadar rasionalitas ekonomis. Norma dan etika dicampakkan, diganti kalkulasi laba rugi. Kemanusiaan dan solidaritas dihapus, diganti tabel Excel yang kejam.
Namun, jangan kira Paus mengajak kita kembali ke barter ayam dan beras. Tidak. Ia tahu dunia ini butuh pasar, butuh pertumbuhan. Tapi, katanya, pertumbuhan itu harus diikat etika, seperti layaknya seorang petani mengikat benih di ladangnya: supaya tak terbang sia-sia. Ekonomi harus berorientasi pada kesejahteraan bersama, bukan hanya segelintir pemilik modal. Harus menjunjung martabat manusia, memberi ruang bagi mereka yang tersingkir oleh pasar yang rakus.