Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Penulis - Masih Belajar Menjadi Manusia

"Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan." Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hiduplah di Kehidupan yang Sebenar-benarnya Hidup

15 Oktober 2020   18:28 Diperbarui: 15 Oktober 2020   18:30 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: dokpri/SahyulPahmi

Manusia di awal penciptaannya telah banyak membawa tanda tanya, darimana dia?, akan kemana dia?, dan sedang dimana dia?.

Tanda tanya tersebut tak sebatas, menjadi hal untuk dijawab, namun dalam lembar pradaban manusia dari awal hingga saat ini, tanda tanya itulah yang terus menggerakkan makhluk-makhluk berakal untuk terus mencari sampai menjadi dunia yang kita pijak, diami, bahkan dustai ini.

Untuk memudahkan pencariannya, maka manusia bergorganisir, berkelompok, bersaudara, dan bercinta. Pencarian akan banyak tanda terus terjadi, setiap detik setiap jam dalam bentuk dan jenis yang bermacam-macam.

Sampai dorongan untuk saling mendahulukan, saling menyelip dari kiri maupun kanan, saling berdesakan, maka jadilah pencarian ini sebuah perlombaan yang tak berujung dalam delusi yang penuh kenisbian.

Semakin lama, semakin tua. Pencarian dan banyak tanda tanyanya menjadi keruh tak murni lagi, tak mengalir lagi, ia terpendam dalam bau dan lumpur keegoisan.

Kehidupan hadir jadi masa kebingungan yang bertopeng kemegahan dan kecepatan.

Kita. Manusia. tak lagi menjalankan apa yang telah kita mulai.

****

Di sebuah gazebo kecil di Pondok Pesantren yang saya datangi tadi pagi, saya mendapati gambus kecil, yang dibuat sendiri oleh masyarakat sekitar pondok.

Awalnya, saya melihat seorang kakek memainkan senar-senar gambus tersebut, saya yang duduk yang tidak terlalu jauh, sedikit demi sedikit menikmati iramanya yang khas gambus Arab namun dengan lirik Makassar.

Kakek tersebut sangat menikmati petikannya, sesekali ia menutup matanya sambil bernyanyi, lalu lalang kepul asap rokok menambah meriah suasana, kopi hitam telah menjadi nikmat pahitnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun