Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bisakah Bahasa dan Sejarah sebagai Penangkal Disintegrasi Bangsa?

5 April 2020   15:04 Diperbarui: 5 April 2020   15:12 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akibatnya dalam beberapa aspek, mereka sangat mendorong terciptanya pahlawan-pahlawan baru dari bidang baru, seperti musik, dan olahraga atau selebritis. 

Sehingga pada sisi ini wajar bila  pemerintah Singapura, Malaysia dan Thailand membiayai secara besar-besaran pendidikan olahraga di negaranya agar tercipta juara baru level dunia yang memberi kebanggaan di dalam negeri, sekaligus  diharapkan sebagai perekat baru  rasa senasib dalam identitas warga negara mereka.

Sebab, bila ditanyakan soal kesejerahan bangsa   kepada anak usia sekolah di kedua negara itu, mungkin jawabannya tidak akan sekaya Indonesia. 

Karena dengan rentang waktu, geografis dan kekayaan yang dimiliki  semua bisa tidak habis habis untuk digali oleh kita sebagai pewaris para pendahulu itu.  

Semua lengkap  serta nyaris mewakili  seluruh suku  di tanah.  Hanya  tinggal  kepada kesediaan untuk menggali dan merangkainya dalam satu narasi ke Indonesiaan.

Kalau mau mencari contoh yang lebih jauh, yakni bangsa-bangsa di kawasan   Afrika tengah dan selatan.  Pertentangan antar suku seperti tak pernah selesai, meski penjajahan bangsa asing tak lagi ada. Selain faktor dendam antar suku ketiadaan unsur bahasa pemersatu juga menjadi salah satu faktor konflik yang berkepanjangan tersebut. 

Atau sebaliknya kenapa  bangsa Korea sangat marah kepada Jepang, karena dalam periode pendudukan negara matahari terbit tersebut sebelum dan selama perang dunia kedua, karena selain menjajah Jepang juga beruusaha menghapus bahasa sebagai identitas bangsa Taeguk tersebut, Selama  berkuasa, Jepang menerapkan hukuman berat bagi masyarakat Korea yang ketahuan menggunakan bahasa ibu mereka sendiri. 

Atau Timor Leste yang memisahkan diri dari Indonesia tahun 1999, mereka menetapkan bahasa Tetun sebagai bahasa nasioanal, meski mayoritas masyarakat mereka paham bahasa Portugis.

Jika contoh-contoh kecil diatas menjadi bahan tambahan bagi para guru sejarah, maka sejatinya mereka sangat bisa menjadi ujung tombak untuk menanngkal radikalisme seperti yang diungkapkan  Buya Ahmad Syafii Maarif. 

Kenapa bisa menjadi penangkal karena bila sang guru mampu  memberikan info secara jernih dan menyandingkan dengan fakta-fakta tambahan maka murid akan paham betapa Indonesia  sebagai bangsa layak untuk dipelihara, bukan sekelompok manusia yang tak tahu diri bahkan rendah diri dibanding bangsa-bangsa lain, lantaran miskin pemahaman.

Karena sejarah adalah juga perbandingan, maka penulis yakin, serta belajar kepada pengalaman yang pernah ada,  dengan memberi contoh yang berserak dari pengalaman nenek moyang kita serta membandingkannya dengan bangsa lain, akan sangat efektif untuk  secara langsung menangkal munculnya diistegrasi bangsa seperti yang dikeluhkan banyak pihak akhir-akhir ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun