Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Berharap dari Moratorium Lahan untuk Dorong Produktifitas Kelapa Sawit Milik Petani

14 Desember 2019   16:03 Diperbarui: 14 Desember 2019   16:07 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Salah satu tujuan dikeluarkannya Inpres moratorium perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah adalah peningkatan produktifitas hasil produksi lahan milik petani perorangan atau kelompok tani. Itu sebab Inpres 8/2018  yang diteken pada 19 September 2018 lalu, berfokus pada optimalisasi  produksi sawit melalui peningkatan produktivitas dan bukan pada penambahan luas lahan.

Karena selama puluhan tahun berjalan,  masalah produktifitas hasil kebun sawit, khususnya dari lahan milik petani perorangan dan sebagian yang tergabung dalam kelompok seperti koperasi, kerap jadi masalah utama.

Ini bisa dilihat dari catatan berikut. Pada kurun 2008 hingga 2017, lahan sawit baru bertambah sebanyak 6 persen, setiap tahunnya.  Tetapi, tapi dari sisi  produktivitas,  kelapa sawitnya  hanya naik 3 persen dengan yield 11 ton tandan buah segar (TBS) setiap tahun.

Saat ini,  produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia baru 2-4 ton per hektare per tahun. Jumlah tersebut jauh dibawah  hasil   kebun kelapa sawit Malaysia yang bisa menghasilkan 10 ton per hektare per tahun.

Maka, salah satu target  yang ingin dicapai lewat Inpres 8/2018 itu adalah, mendorong peningkatan produktivitas  naik menjadi   8 ton per hektare per tahun. Jumlah itu masih jauh dibawah potensi sebenarnya yang bisa sebesar   25 ton per hektare per tahun.

Sekedar informasi, data Kementerian Pertanian menyebut, luas lahan perkebunan kelapa sawit yang dikelola petani skala kecil di Indonesia hampir 5 juta hektare. Umumnya, petani swadaya mengelola lahan sawit seluas empat hektare dengan tingkat produksi antara 12 ton --16 ton per hektare per tahun, dan ini masih dibawah target produksi ideal yang seharusnya bisa sebesar 25 juta ton per tahun.

Kenapa bisa demikian rendah, itu tak lain karena sejak awal, para petani perorangan dan plasma mengelola kebun mereka tak sebaik atau serapi perusahaan perkebunan milik korporasi, baik swasta atau BUMN.

Sejak dari pemilihan bibit,  para petani kadang tak mendapat bibit terbaik karena berbagai sebab. Atau setelah masa tumbuh, pemupukan  yang tak maksimal dan pembersihan pohon dari hama juga menjadi salah satu biang rendahnya produksi yang dihasilkan. Makanya, menjadi wajar, moratorium pembukaan lahan baru, yang sejatinya lebiih diperuntukkan untuk korporasi dan perusahaan besar, secara langsung turut dimanfaatkan sebagai sarana penataan ulang bisnis sawit yang dikelola secara swadaya oleh petani perorangan tersebut

Lalu,  langkah aplikatifnya seperti apa?. Seperti diketahui oleh semu stake holder sawit dalam negeri. Salah satu masalah utama dari petani sawit perorangan ini adalah masalah modal. Mereka kerap tak mampu ambil bagian dalam upaya perbaikan produksi hasil kebun mereka karena ada dana yang harus mereka keluarkan dari sana.  Atau juga karena masalah status lahan yang belum jelas

Contoh kasus untuk program replanting, hingga saat ini banyak  kebun milik petani yang belum bisa ikut karena status yang dimiliki. Padahal pemerintah sudah menyiapkan anggaran Rp25 juta per hektar untuk peremajaan tersebut.

Maka dalam salah satu poin Inpres 8/2018 juga  menempatkan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) sebagai pihak yang melakukan pendampingan dalam upaya peningkatan produktifitas lahan yang nantinya berujung pada peningkatan kesejahteraan para petani tersebut.

Salah satunya tugas GAPKI adalah  membina petani plasma dan petani swadaya agar bisa segera mendapat sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai bukti bahwa petani juga bisa mendapatkan sertifikat perkebunan berkelanjutan.

Ini memang bukan pekerjaaan mudah, karena persoalan yang ada di dalamnya,  mensyaratkan kerjasama beberapa pihak.  Realisasinya tidak bisa dilakukan secara top down, meski ada dana yang bisa diperoleh petani untuk membantu mereka dalam menjalankan program ini.

Selain itu, berbicara soal peningkatan produkitifitas ini juga tak bisa berharap langsung memberi hasil dalam waktu singkat. Butuh tempo beberapa  tahun, agar program ini untuk bisa dapat terlihat.

Namun jika tidak dimulai dari sekarang, maka persoalan petani perorangan ini, akan menjadi seperti api dalam sekam. Di permukaan terlihat tak ada masalah, namun di bawah bara persoalan masih tersisa.  Jika persoalan tersebut, potensi serangan lewat kampanye negative terhadap sawit Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun