Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengajak Industri Sawit Lebih Peduli Riset untuk Peningkatan Produksi

12 Agustus 2019   23:52 Diperbarui: 12 Agustus 2019   23:54 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kelapa sawit (shutterstock)

Salah satu masalah internal industry sawit dalam negeri adalah persoalan produktifistas panen. Sudah lebih dari 30 tahun industri kelapa sawit beroperasi di Indonesia, namu  untuk masalah yang satu ini,  hamper semua pihak cenderung mengabaikan.  Padahal masalah produktifitas hasil  sebuah budi daya tanaman atau tumbuhan, menjadi factor kunci, sekaligus ujung  tombak keberhasilannya.

Mengapa hal tersebut cenderung diabaikan dan menjadi sebuah pembiaran  yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.  Beberapa asumsi yang bisa dimunculkan dengan sedikit data, mungkin bisa menjawabnya.

Seperti diketahui, sebagai bahan utama minyak nabati yang paling ekonomis di dunia, dengan ratusan produk turunanya, menjadi bukti bahwa kelapa sawit memiliki sejumlah keunggulan mutlak dari minyak nabati sejenis.

Produktifitas serta biaya yang harus dikeluarkan  untuk memprodukisi minyak sejenir dari bahan  ain, seperti bunga matahari, kedelai dan rappa, nyaris mendekati sepertiga lebih banyak dari biaya yang harus dikeluarkan oleh minyak dari kelapa sawit.

Maka, keunggulan mutlak ini sedikit banyaknya membuat kalangan industry sawit di tanah air belum melihat soalan produktifitas hasil pohon sawit itu menjadi sebuah urgensi.

Adapun luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang tercatat seluas 12 juta hektar dan memproduksi tidak kurang dari 43 juta ton minyak kelapa sawit atau CPO (tahun 2018,  suka atau tidak juga menjadi penyumbang ketidakpedulian tersebut.

Pasalnya, dengan total produksi sebanyak itu yang jumlahnya hanya bisa diimbagi oleh Malaysia, maka Indonesia bersama negeri tetangga ini menjadi penguasa pasar CPO dunia.

Sama seperti Saudi Arabia untuk minyak mentah, negara tersebut yang pernah dijuliuki sebagai negara petrodollar karena menjadi produsen utama minyak dunia,  dan semata-mata menggantungkan APBN  dari emas hitam ini sempat terlena dan lupa untuk  membuat  diversikasi.

Maka yang terjadi kemudian adalah, negara kerajaan tersebut mulai mengalami kesulitan keuangan, pasca harga minyak dunia jatuh ke titik terendah pada tahun 2008 lalu.  Kini upaya diversifikasi usaha dan men cari pemasukan negara di luar minyak mulai mereka jalani. Ke luar negeri Aramco (Pertamina, Saudi Arabia) sedang dalam proses melepas saham yang tadinya 100 persen di miliki keluarga kerajaan ke pasar modal.

Ke dalam, visa Jemaah haji yang selama ini tidak pernah diutak-atik,  mulai mereka naikkan secara perlahan-lahan. Semuanya dengan tujuan mencari sumber baru untuk belanja negara.

Mungkin kasus Arab Saudi dengan petrodolarnya terlalu jauh jika dibandingkan dengan industry kelapa sawit dalam negeri. Selain kondisi social politik negara dan komoditas ini sangat berbeda, secara percaturan ekonomi global, baik Saudi dan Indonesia memillki keunggulan yang tak bisa diletakkan dalam satu wacana sederhana.

Beruntung, masalah produktifitas ini sudah menjadi perhatian pelaku sawit tanah air.  Itu terlihat dari penyataan Ketua Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Joko Supriyono yang mengakui bahwa produktifitas kelapa sawit Indonesia yang terbilang rendah.

Data keluaran GAPKI  menyebuttkan dalam kurun waktu antara tahun 2008 hingga 2017, lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh 6 persen setiap tahun. Namun pertumbuhan tersebut tidak berbanding lurus dengan produktifitas, karena pada periode yang sama, hasil panen kelapa sawit hanya naik 3 persen per tahun. Jumlah itu setara dengan rata-rata produksi 11 ton TBS (tandan buah segar) per hektar.

Padahal dengan rata-rata perluaran lahan yang tiap tahunnya naik 5 persen itu, maka produksi kelapa sawit idealnya tidak kurang dari 25 ton TBS dari setiap hektarnya.

Dalam pandangan Gapki, kondisi itu terjadi karena  dunia  usaha tidak menggunakan riset yang kerap dilakukan kalangan perguruan tinggi. Karena dari hasil penelitian labor akademis lah sebenarnya, solusi utama peningkatan produktifitas kelapa sawit itu bisa lebih ditingkatkan lagi.

Pesan yang harus dibaca adalah, bahwa para stakeholder kelapa sawit dalam negeri sudah harus lebih memperhatikan aspek produktifitas ini. Karena, pada saat kondisi tak sesuai harapan, maka sekian banyak keunggulan komparatif yang sebelumnya dimiliki, bisa berbalik menjadi senjata makan tuan.

Keunggulan tersebut tetap  bisa menjadi senjata andalan, manakala masalah prinsip dan mendasar pada bisnis usaha ini sudah lebih dahulu diperbaiki atau berada dalam kondisi siap menopang kelebihan-kelebihan tersebut diatas. Maka urusan produktifitas adalah salah satu nyawa utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun