Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Membaca Lebih Jelas Protes Biodiesel Indonesia kepada Uni Eropa

28 Juli 2019   22:28 Diperbarui: 28 Juli 2019   23:20 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara penguasa tiga jenis minyak nabati lain adalah korporasi Eropa dan Amerika yang tentu pasar mereka tak ingin tergerus akibat  fakta yang ada. Meski pada saat sekarang mereka adalah penguasa pasar nabati dunia

Perusahaan-perusahaan agrobisnis dari Asia Tenggara yang lebih kecil juga ikut bersaing. Malaysia memiliki tanah besar kedua dengan lebih dari 3 juta hektar.

Akibatnya, ada persaingan global di pasar minyak nabati antara perusahaan agrobisnis di barat yang dominan dengan perusahaan dari Asia Tenggara, yang relatif masih kecil namun semakin progresif merebut pasar.

Dari sini saja, sudah bisa digambarkan peta pertempuran seperti apa yang akan dan sedang terjadi.

Saat ini Prancis, Jerman (dua negara utama kelompok Uni Eropa) serta Polandia  adalah penghasil minyak nabati dari  rapa dan bunga matahari untuk Eropa. Rapa dominan di Prancis, Jerman, dan Polandia. Di antara produsen besar biodiesel, Prancis dan Jerman adalah  negara yang menggunakan rapa sebagai bahan baku utama.  Padahal Rapa jauh lebih mahal daripada minyak kelapa sawit dan kedelai, tetapi tanaman tersebut memainkan peran penting dalam politik pertanian kedua negara.

Satu dekade lalu tepatnya tahun 2003,  Prancis dan Jerman menetapkan kebijakan fiskal yang mempromosikan biodiesel. Hal ini meningkatkan konsumsi domestik rapa di Eropa, tetapi juga mendorong impor minyak sawit, yang meningkat sebesar 3,1% untuk setiap kenaikan 1% dalam harga minyak rapa. Meskipun kebijakan impor berakhir, setelah tahun 2008, konsumen industri terus mengimpor minyak sawit. Minyak kelapa sawit telah dan tetap menjadi pesaing yang tangguh untuk minyak rapa Eropa.

Amerika yang melihat Eropa yang terancam oleh sawit berhasil mengambil keuntungan dengan  kebolehan meningkatkan impor kedelai negara mereka ke Eropa sebesar 250 persen sejak tahun 2018.

Sebagai gantinya,  Uni Eropa memulai proposal pengurangan penggunaan  sumber minyak nabati  untuk produk yang diduga menjadi penyebab deforestasi. Namun proposal tersebut  berujung kepada larangan minyak sawit. Hal ini membuat marah para produsen utama minyak kelapa sawit, Indonesia dan Malaysia yang secara tidak langsung menjadi terdakwa utama terhadap deforestasi dunia.

Sejatinya tuduhan kepada kelapa sawit sebagai biang deforestasi sudah lama dibantah, karena berdasarkan kajian  perkebunan kelapa sawit hanya bertanggung jawab atas 3% deforestasi global. Di Indonesia dan Malaysia, deforestasi memuncak beberapa dekade yang lalu, dan sudah menurun sebelum permintaan minyak sawit mulai meningkat.

Di kedua negara, lahan sawit mayoritas bukan dari pembukaan hutan, melainkan dari alih fungsi atau penggantian tanaman lain, seperti karet

Maka, jika benar bahwa permintaan minyak nabati dunia mencapai 259 juta ton/tahun pada tahun 2050 nanti, maka hampir pasti pertanian bunga matahari dan Rapa seeta kedelai yang dipimpin Brasil, akan memakan lahan yang sangat luas. Jika  pelarangan biodiesel dari sawit terlaksana, lahan yang harus tersedia demi pemenuhan kebutuhan konsumsi Eropa dan Amerika itu luasnya tidak kurang dari sebesar benua Afrika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun