Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Maksimalkan Sertifikasi ISPO untuk Sawit Berkelanjutan Indonesia

30 Maret 2019   03:06 Diperbarui: 30 Maret 2019   03:24 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Salah satu aspek pendukung kampanye hitam Eropa terhadap industry sawit Indonesia adalah penetapan  sertifikasi kelayakan hasil akhir produk ini yang mensyaratkan sisi keberlanjutannya. Hal tersebut berkaitan erat dengan penerapan protocol Paris yang berisi komitmen sejumlah Negara dunia untuk mengurangi efek gas rumah kaca.

Dalam upaya pemenuhan komitmen terhadap Protocol Paris tersebut, dikaitkan dengan industry utama non migas ini,   Indonesia ikut  bergabung dengan asosiasi yang sudah ada yakni RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Selain dengan RSPO, juga membentuk sendiri kebijakan terkait industry sawit tersebut yang diberi nama ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

RSPO  itu sendiri  adalah lembaga   yang berdiri sejak tahun  2004 dan diikuti oleh mayoritas  kalangan bisnis sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor)  Eropa, serta banyak LSM atau lembaga-lembaga yang terkait dengan bisnis ini dan berkantor pusat di Zurich, Swiss.

Tujuan utamanya adalah mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.

Sama seperti RSPO, ISPO adalah bentuk kebijakan  yang diambil pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia. Kebijakan ISPO ini juga menjadi wujud dari komitmen Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk  mengurangi gas rumah kaca, seperti yang diinginkan oleh Protocol Paris.

Ada yang khas dari status dalam  keanggotaan  di RSPO yaitu, tidak semua anggota memiliki hak voting. Hak suara dan memlih itu hanya dimiliki  produsen dan distributor besar saja. Anggota di luar produsen dan distributor, seperti akademisi, LSM lingkungan, dan anggota masyarakat tidak memiliki hak serupa. Maka dari sini bisa terbaca arah dan kepentingan siapa yang paling banyak disuarakan secara kelembagaan oleh asosiasi ini.

Pada satu sisi Indonesia selaku produsen serta Eropa sebagai Negara konsumen  utama produk industry sawit ini punya kesamaan cita-cita yakni, memastikan sebuah aktifitas industry tak memperburuk kualitas lingkungan hidup. Atau dalam bahasa lain, bisnis yang berkelanjutan.

Namun dalam perjalanannya, RSPO yang didukung oleh negara maju bersama LSM dan lembaga lain, kerap menyebut Indonesia tak benar-benar menjalankan komitmen pengurangan efek rumah kaca melalui ISPO. Beberapa alasan yang keluar antara lain karena ISPO  tak melibatkan auditor independen terhadap pelaku usaha yang mendapat sertififikat tersebut. Disamping juga tak melibatkan kalangan LSM dalam proses penerbitan sertifikat tersebut.

Itu belum lagi jika menyebut bahwa negara-negara konsumen tersebut selalu menempatkan operasioanal bisnis sawit Indonesia sebagai biang kerok kerusakan alam, penggundulan hutan dan pembunuhan terhadap satwa yang dilindungi seperti Orang Utan di Kalimantan.  Yang itu berujung kepada keluarnya rancangan aturan pelarangan total sawit untuk Biodiesel di benua tersebut sebagaimana yang dicantumkan dalam RED II

Untuk itu, diluar negosiasi pemerintah dan pihak terkait dalam upaya pembatalan RED II yang akan ditetapkan oleh Uni Eropa beberapa waktu ke depan, ada pekerjaan rumah  lain ke dalam yang tak kalah pentingnya. Tugas dan pekerjaaan rumah itu adalah memperkuat status ISPO sebagai cara mandiri Indonesia dalam menepis tuduhan adanya dampak kerusakan lingkungan akibat bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia

Penguatan ini menjadi penting, karena disukai atau tidak,  keberadaan ISPO yang usianya lebih mudah dari pada RSPO masih harus berkutat dengan sejumlah persoalan.

Yang paling utama dalam hal penguatan ISPO ini adalah tak ada pihak dalam negeri yang menjelekan ISPO. Setiap instansi atau lembaga pemerintah bisa  memiliki satu visi untuk memajukan kebijakan ISPO untuk kemajuan kelapa sawit Indonesia. Sehingga dengan adanya kesamaan pandangan tersebut, ISPO bias menjadi  jati diri kelapa sawit Indonesia.

Saat ini sertifikat ISPO  telah mengacu pada standar internasional (ISO) dan penilaian kesesuaian oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).  Itu ditambah dengan keberadaan  15 lembaga sertifikasi ISPO yang tujuh diantaranya,  dari luar negeri yaitu Jerman, Inggris, Italia, Perancis, Swiss, dan Austalia.

Sejatinya,  sertifikat yang dikeluarkan ISPO sudah layak dan setara dengan RSPO karena sejumlah negara tujuan ekspor kelapa sawit, telah mengaku sertifikasi yang dikeluarkan oleh lembaga  bentukan pemerintah itu.

Bahkan penerimaan sertifikat ISPO sudah dimonitor oleh Europian Sustainable Palm Oil (ESPO) dan setiap tahunnya dilaporkan oleh European Palm Oil Alliance (EPOA).

Kredibilitas Komisi ISPO juga dinilainya sudah teruji ketika berperan aktif sebagai expert on ISPO di Paris untuk kasus gugatan iklan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang dianggap bohong.

Kini tinggal satu sisi yang masih belum digarap maksimal, yakni perkebunan kelapa sawit milik perorangan atau petani. Penerapan sertifikat ISPO untuk pelaku usaha perorangan ini masih terkendala oleh sejumlah masalah.

Salah satunya adalah  kepemilikan lahan yang sebagian besar masih berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), sebagian areal terindikasi masuk kawasan hutan, para pekebun menolak membentuk koperasi, serta masalah pendanaan pra kondisi dan biaya audit. Maka disini peran pemerintah dan para stake holder lain harus turun tangan dan melakukan pendampingan dalam menyelesaikannya. "Mulai dari pelatihan, pendampingan pra kondisi, pembentukan kelembagaan, hingga proses mendapatkan sertifikasi ISPO untuk petani perorangan tersebut.

Maka dengan beragam penguatan ke dalam tersebut, sertifikat ISPO Indonesia bisa menjadi salah satu senjata utama untuk menantang Uni Eropa di meja WTO.

Karena dengan bukti-bukti yang ada, proses sertifikasi  yang telah dijalankan selama ini akan bisa menjawab sekaligus bantahan atas tuduhan bahwa industry kelapa sawit Indonesia telah  penerapkan skema keberlanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun