Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengapa Guru Perlu Menulis di Kompasiana?

7 Agustus 2021   14:55 Diperbarui: 7 Agustus 2021   19:18 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Ozy V. Alandika

Iya, benar. Jikalau dirimu adalah guru, dirimu bisa menulis di mana saja. Di buku tulis, bisa. Di halaman Facebook, bisa. Di papan tulis, bisa. Dan di blog pribadi juga bisa.

Hanya saja, fenomena yang kutemui dalam beberapa bulan terakhir, ada perbedaan yang mencolok antara orang yang memulai menulis di blog pribadi dengan orang yang memulai menulis di blog berjamaah semacam Kompasiana.

Menulis di blog pribadi itu bebas, dan saking bebasnya banyak bloger tak mengerti tentang tata krama.

Laksana tamu singgah yang ke rumah tetangga yang baru pindah, masuknya lewat dapur, lalu dengan seenaknya mengambil sayur sambal lema ikan nila dari kulkas kemudian pergi. Si pemilik rumah baru sadar bahwa lauknya sudah habis ketika membuka kembali isi kulkas.

Hemm, tidak sopan, kan?

Sekarang bisa dibayangkan jika pemeran dari ilustrasi cerita di atas adalah seorang guru. Dan mirisnya, kisah tersebut benar dan nyata adanya. Berdalih memulai menulis di blog pribadi lalu menata semangat, eh, tiba-tiba tulisanku dipindahkan semua ke blog pribadinya. Kan lucu!

Coba kalau guru tersebut menulisnya langsung di Kompasiana (misalnya), sudah pasti dalam hitungan detik akan muncul notifikasi berikut:

Sesuai ketentuan Kompasiana, kami menghapus postingan Anda yang berjudul "ABCDEFGHIJKLMNO" karena Sesuai dengan ketentuan Kompasiana tentang Hak Cipta, kami menghapus artikel ini karena terindikasi menjiplak, mengutip, menyalin-tempel (copy-paste) sebagian atau keseluruhan konten karya pihak lain sebagai milik Anda.

Penggunaan kutipan diizinkan apabila Anda mencantumkan identitas sumber atau ditaut (hyperlink) tertuju ke sumber tersebut. Komposisi kutipan yang diizinkan di Kompasiana ialah sebesar maksimal 25% dari keseluruhan panjang tulisan.

Kompasianer yang melanggar maksimal 5 kali ketentuan di atas, dapat mengalami pembekuan akun.

Terima kasih.

Tim Moderator Kompasiana."

Apa yang guru rasakan jika mendapat pesan tersebut di akunnya? Aku tebak, mau membalas dengan ucapan "Terima Kasih, Min" pun tidak tega. Ada rasa malu, dan yang terpenting adalah rasa pengertian bahwa setiap tulisan itu berharga, bernilai, bahkan punya hak untuk dilindungi.

Bagiku yang saat ini masih semangat (ngakunya) menulis, Kompasiana itu seperti platform yang berisi artikel ilmiah, namun membacanya tidak seberat tulisan di jurnal maupun makalah.

Para "penduduknya" juga ramah, rendah hati, menginspirasi, plus hebat-hebat. Lihat saja, nyaris tidak ada para penulis di Kompasiana yang memajang gelar di depan atau belakang nama akunnya. Mereka benar-benar penganut filosofi padi. Makin berisi, makin menunduk.

Dan terkhusus hal yang paling aku sukai adalah komentar yang ada di berbagai artikel di Kompasiana. Tidak ada kata-kata kotor, apalagi hujatan berupa daftar nama hewan, nama anggota tubuh, hingga berbagai jenis kotoran.

Di media sosial, kata-kata kotor terus berserakan. Kadang guru juga ikut-ikutan, sedangkan para siswa dengan entengnya berucap diksi-diksi nirfaedah. Fenomena tersebut menurutku bukan hanya dosa para pelaku, tapi juga para pengurus medianya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun