Kemarin aku pernah bercerita di hadapan dua bola matamu. Waktu itu aku berkata bahwa jauhnya kita adalah kedekatan. Seketika engkau menghimpit lemah dengan senyuman.
Engkau tangguh sebagaimana aku!
Syahdan engkau melihat embun, kemudian bercerita kepadanya bahwa aku jauh. Seketika embun itu tersedu-sedu menatap kelompak bunga. Memekik kepada daun, "Kita dekat!"
Ah, ternyata embun menganggap aku rimpuh karena kita belum bertemu. Dihalangi oleh penjahat yang lebih kejam dari angin dingin. Disangkanya aku roboh. Dikiranya aku runtuh tertimpa rindu.
Aku lebih tangguh daripada jarak. Hangatnya udara jadi saksi bahwa aku masih berkeringat. Langkah kaki ini semakin hari semakin lebar. Aku tidak berjalan di tempat. Aku tutup telinga dari mereka yang bersorak.
Aku lebih tangguh daripada jarak. Tebing-tebing pemisah kita adalah alasanku untuk enggan termangu. Tangan ini selalu gemetar ketika membasuh aspal. Tersadar bahwa diamku tiada bakal memangkas jarak tempuh.
Aku lebih tangguh daripada jarak. Hanya untuk membuktikan bahwa kedekatan kita nantinya adalah pantas.
Curup, 10 Mei 2021