Terang saja, di luar sana ada banyak orang yang ingin melanjutkan studi tapi keinginan mereka hanya sebatas angan bin angin lewat. Maka darinya, kita yang sudah memulai dan memutuskan untuk lanjut studi termasuk orang-orang yang beruntung.
Kendati demikian, di balik status beruntung tersebut sebenarnya ada konsekuensi. Ya, terutama bagi para penuntut ilmu yang melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri seperti saya.
Di awal-awal semester mungkin tiada terasa, tapi setelah memasuki semester akhir? Wah, galau bin ambyarnya terkadang sampai memedihkan mata. Cihui!
Sedikit ingin berkisah, saat ini saya melanjutkan studi magister yang lokasinya berada di pusat kota provinsi Bengkulu. Lumayan jauh jaraknya dari Curup, yaitu 90 km.
Waktu tempuhnya? Saya biasanya menghabiskan waktu 2-3 jam untuk menempuh 90 km menggunakan sepeda motor.
Jikalau berkendara dengan kecepatan 70-80 km/jam saya bisa tiba di kampus dalam waktu 2 jam, sedangkan ketika pulang saya menghabiskan waktu hingga 3 jam di jalan. Mengapa kok lebih lambat? Capek, Bro! Jalan pulangnya menanjak terus. Hahaha
Jadi, dengan jarak yang sejauh itu, bisa dibayangkan berapa ongkos bensin plus jajan yang saya habiskan jika setiap hari PP ke kampus. Dan bayangkan pula bila kemudian hajat saya yang ingin bertemu dengan dosen pembimbing gagal terkabul gegara dosennya ngilang.
Barangkali, hanya kesabaran yang bisa menghapus segenap bayang-bayang suram itu. Ehem
Kuliah Sambil Kerja: Berat Perasaan
Sejatinya, ketika dirimu memilih untuk melanjutkan studi di tengah sibuknya pekerjaan, maka ketika itu pula dirimu sedang berkorban perasaan. Sama! Diriku pula demikian.
Sadar atau tidak, kuliah sambil kerja menguras waktu bersama teman, rekan, dan khususnya keluarga.
Semisal, saya guru. Sepulang dari sekolah setidaknya saya punya tugas administratif serta kegiatan mempersiapkan pembelajaran di hari esok. Nah, jika ditambah dengan aktivitas kuliah? Manajemen perasaannya makin berat karena sudah bercampur dengan kesibukan.