Meski demikian, aku menganggap hal tersebut adalah wajar. Di desa tempatku mengajar, penduduknya masih sedikit dan di desa sebelah sudah ada MI (Madrasah Ibtidaiyah). Kebanyakan siswa baru ingin bersekolah di sana, dan hebatnya, MI tak pakai aturan zonasi.
Jadi, ya, bukanlah sebuah keanehan ketika ada siswa di desa yang ingin bersekolah di desa lain. Secara, derajat popularitas MI lebih tinggi daripada SD, terlebih lagi ada materi agama tambahan.
Padahal, di SD kami juga tak kalah hebat. Walaupun dirundung kompleksnya keterbatasan, kami juga punya program unggulan layaknya sekolah eksklusif. Seragam sekolah? Gratis. Materi agama? Di sekolah kami sudah ada kegiatan sholat Dhuha rutin. Pun dengan program lainnya.
Bahkan, andai corona segera berlalu, aku sudah punya program khusus agar anak-anak di SD-ku mampu mengisi kegiatan keagamaan di desa. Bukankah hal-hal yang aku ceritakan ini adalah demi kemajuan desa?
Itulah guna kehadiran sekolah negeri di desa, apa lagi bagi desa yang baru saja berkembang. Guru senior di SD kami pernah berkata bahwa, "kalau SD ini tutup (regrup), bisa jadi desa kita yang belum terlalu lama mekar akan kembali bergabung dengan desa sebelah." Hemm
Hemat
Persoalan biaya, boleh dibilang tidak terlalu penting di awal, tapi saat perjalanannya, masalah biaya jadi hal yang sangat krusial. Benar. Tidak cukup dengan gengsi untuk membeli berbagai kebutuhan anak. Bahkan, mencari ongkos angkot/ojek untuk sekolah saja begitu susah.
Iya, benar. Bahwa tidak semua anak lahir dari keluarga kaya, dan tidak semua dari mereka yang punya segudang prestasi.
Dulu, sewaktu bersekolah di SMP, aku sejatinya cukup kesusahan dari segi biaya. Terang saja, SMP yang paling dekat dari desa ternyata cukup jauh dari rumahku (7 KM).
Gara-gara jauh, beberapa kali aku sempat jalan sejauh 2 KM demi mendapatkan angkot. Sedangkan pulang sekolah, aku rela naik ojek dengan bonceng 3 dengan 2 orang temanku. Ya, biar hemat, kan? Walaupun kesannya berbahaya, tapi kita semua ingin bersekolah.