Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengapa CPNS Formasi Guru (Harus) Diganti PPPK?

30 Desember 2020   10:52 Diperbarui: 31 Desember 2020   08:48 4029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta mengikuti ujian Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Surabaya, Selasa (22/9/2020). (AFP/JUNI KRISWANTO)

Mungkin ada beberapa, dan karena BKN sudah berbicara, berarti sudah ada temuan di lapangan. Meski demikian, lagi-lagi permasalahan ini cukup kompleks dan saling bertaut antara masalah yang satu dengan masalah lainnya.

Sebagai contoh saja, di tahun 2019 CPNS yang lulus tes diminta untuk menandatangani perjanjian di atas meterai bahwa mereka berhak mengabdi selama minimal 10 tahun semenjak diangkat menjadi PNS.

Bukankah hal tersebut merupakan salah satu usaha pemerintah agar CPNS tak buru-buru mutasi?

Nah, permasalahan kedua adalah, formasi CPNS di daerah-daerah tertentu sifatnya umum. Dalam artian, orang mana saja asal dia WNI bisa daftar sesuai dengan keinginan dan ketersediaan formasi.

Misal, ada pelamar CPNS dari Jakarta ingin mendaftar ke Sumatera, lalu dia lulus. Berarti sang pelamar tadi akan "ngekos" alias menetap sementara di Sumatera, kan?

Beruntung kalau si pelamar tadi masih single lalu menikah dengan orang Sumatera. Tapi kalau dirinya sudah punya keluarga di Jakarta, bagaimana? Inilah salah satu hal yang menjadi cikal bakal CPNS mau mutasi.

Sebenarnya permasalahan ini bisa tertutupi oleh daerah. Caranya ialah, Pemda setempat menetapkan atau memprioritaskan putra daerah untuk mendaftar CPNS. Secara teori, CPNS yang tinggal dan bekerja di daerah sendiri peluang pindahnya sangat kecil.

Tetapi, di sisi lain, apakah putra daerah kualitasnya sudah mumpuni sebagai PNS? Nah, ini masalah, dan lagi-lagi kita kembali berkisah tentang kompetensi.

Kisah kompetensi kemudian ditempuh dengan cara perekrutan PPPK. Melayani publik dengan sistem kontrak yang perpanjangannya dilakukan per tahun, disertai dengan gaji menurut beban dan risiko kerja, mungkin begitu paradigma pegawai yang ingin dibangun oleh pemerintah.

Rasanya ini misi yang cukup sulit dan bertabrakan dengan fakta di lapangan. Ya, di lapangan masih ada banyak tenaga honorer yang direkrut oleh Pemda maupun satuan pendidikan.

Kalau bersandar atas skala kebutuhan, bukankah mengangkat tenaga honorer menjadi PPPK adalah pilihan yang cukup masuk akal? Itu jalan yang cukup cepat bagi pemerintah, terutama untuk mensejahterakan sekaligus memperjelas jenjang karier sarjana pendidikan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun