Tak terasa sudah satu tahun kereta Merdeka Belajar ala Mas Mendikbud Nadiem berjalan di "rel" pendidikan Indonesia. Sejak Sang Mendikbud dilantik bersama para menteri di kabinet Indonesia Maju hingga hari ini, tertuanglah sejumput kebijakan pendidikan yang mudah untuk diingat.
Suara yang paling melengking menurut saya ialah kebijakan penghapusan UN dan Program Organisasi Penggerak (POP).
Secara pribadi, kebijakan penghapusan UN menjadikan saya begitu penasaran dengan sistem evaluasi nasional pengganti. Syahdan, dicetuslah Asesmen Nasional (AN) yang kabarnya akan mulai digelar di awal tahun depan.
Entah ini adalah rencana bijaksana atau bukan, sebagai guru, tindaklanjut dari rencana AN belum saya rasakan di lapangan. Terang saja, untuk program kebijakan sistem evaluasi pendidikan baru, tentu saja butuh sosialisasi atau sejenis workshop, kan? Sederhananya, pelaku pendidikan juga mau tahu.
Kalau tidak dengan jalan begitu, maka lebih baik AN ini ditunda saja. Realitas di lapangan, kita masih berkutat pada permasalahan PJJ serta kekhawatiran atas menurunnya tingkat ketercapaian kompetensi belajar siswa.
Bahkan, koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan menegaskan, momentum digelarnya Asesmen Nasional di awal tahun depan tidak tepat alias terburu-buru.
Terang saja, masyarakat sejatinya belum begitu paham tentang esensi dari AN. Terlebih lagi pelaksanaan AN membutuhkan anggaran sekitar 1,49 triliun. Ini merupakan nilai angka yang "hebat".
Lalu, apakah nasib AN akan sama seperti POP? Sebagaimana kita ketahui bersama, atas imbas dari pro-kontra dan prasangka, akhirnya implementasi POP telah ditunda. Kalaulah kemudian Asesmen Nasional "telat" dijelaskan, saya kira, nasibnya juga akan sama.
Di sisi lain, kebijakan seperti penyederhanaan RPP, alokasi dana BOS yang diperluas, Kampus Merdeka, Sekolah Penggerak, Guru Penggerak, hingga distribusi kuota internet masing-masing darinya masih terlihat "adem ayem".
Adalah kewajaran kali, ya? Soalnya, usia kebijakan ini baru sekitar 3 kali masa panen jagung. Soalnya lagi, beberapa program tertentu tidak menjangkau semua kalangan pelaku pendidikan di lapangan.