Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengenang "Kejayaan" UN, Ketika Nilai Kognitif Mendatangkan Kebahagiaan Semu

15 Oktober 2020   22:04 Diperbarui: 16 Oktober 2020   14:44 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ujian sekolah. Gambar oleh shutterstock via KOMPAS

Pertama, UN ketika eksis telah berhasil menjadikan tiap-tiap siswa deg-deg bin gemetaran.

Kalo nggak percaya, coba ingat-ingat lagi, deh. Di masa SMP-mu, misalnya. Aku dulu, tamat SMP tahun 2009. Kala itu, UN bagiku benar-benar "menyerangmkan". Bagaimana tidak, sekolah mewajibkan kami untuk mengikuti les tambahan agar mampu mencapai KKM 5,5 saat ujian.

5,5; bukankah nilai ini kecil? Ya, kecil sekali. Hal ini semakin menegaskan bahwa sejatinya soal-soal UN itu susah. Eh, apa jangan-jangan, proses pembelajarannya yang kurang maksimal, ya? Faktanya, kesusahan ini lahir dari sebuah sistem. Literasi kita rendah, Bro!

Kedua, UN ketika eksis telah berhasil menjadi sandaran evaluasi pendidikan sekaligus tolok ukur yang bersistem. Sederhananya, nilai UN SD dipakai untuk masuk SMP, nilai UN SMP digunakan untuk mendaftar SMA/sederajat, dan nilai UN SMA dipertimbangkan untuk masuk ke PT.

Kembali lagi kepada kisahku. Dulu, sewaktu tamat SMP, aku sempat kecewa karena nilai UN-ku rendah. Bukannya diriku malas, tapi memang, ada bau-bau ketidakberuntungan yang tercium di dekatku. Alhasil, aku ikhlas mendaftar ke SMA "sisa". Syukur, aku diterima.

Ketiga, UN ketika eksis telah berhasil membuka lapangan kerja "Bimbingan Belajar". Ya, kehadiran UN sebagai puncak evaluasi siswa sekaligus tolok ukur kelulusan telah membangkitkan gairah para wali murid untuk mengikuti program bimbel.

Gara-gara itu, alhasil lembaga-lembaga bimbel mulai berkembang dan membuka banyak cabang. Tak hanya lembaga bimbel yang diakui secara legalitas, bimbel bertajuk private juga mulai ramai.

Kembali lagi kepada kisahku. Waktu itu, saat masih duduk di kelas XI-XII SMA, aku juga membuka program bimbel di rumah. Syahdan, kubelikanlah papan tulis sederhana, dan akhirnya aku juga bisa mendapat uang jajan tambahan. Gara-gara UN, kan? Terima kasih, UN!

Nah, jadi, ungkapan bahwa UN itu pernah jaya tidak sepenuhnya salah, kan? Tapi, tidak juga benar seutuhnya. Alasan terkuat mengapa UN harus jadi "kenangan" adalah, karena aspek yang dievaluasi secara nasional hanya menjurus pada kognitif saja.

Ketika Nilai Kognitif Mendatangkan Kebahagiaan Semu

Sebenarnya, nilai kognitif itu penting atau tidak, sih? Sebenar bin sesungguhnya, kukira, cukup penting. Hanya saja, guna nilai kognitif ini bukan untuk siswa secara pribadi, melainkan untuk meningkatkan nilai PISA terutama dari segi kompetensi literasi dan numerasi.

Eh, satu lagi. sesungguh bin sebenarnya juga, nilai kognitif terlebih lagi nilai UN kurang afdal untuk dijadikan tolok ukur kelulusan siswa. Nilai hasil ujian 4 hari adalah penentu kelulusan setelah 3 tahun berlayar di lautan ilmu. Tidak adil, kan?

Kendatipun demikian, bagi sebagian orang, tingginya nilai kognitif seorang siswa akan mendatangkan kebahagiaan yang bertumpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun