Jika tidak lengkap, atau ada salah satu dari 4 kompetensi ini belum terpenuhi maka penobatan guru teladan sungguh jauh dari harapan. Guru profesional saja belum, apalagi guru teladan?
Sangat wajar kiranya jika Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia, Muhammad Ramli Rahim mengatakan bahwa tindakan-tindakan negatif seperti kekerasan fisik hingga kekerasan seksual oleh guru merupakan buah dari pola rekruitmen guru yang serampangan.
Menilik lagi kepada 4 kompetensi guru, jika seorang guru belum lulus uji kompetensi kepribadian dan kemudian ia direkrut, bahkan dipersilahkan mengajar maka tidak menutup kemungkinan bahwa sang guru bisa melakukan perbuatan amoral.
Nyatanya ini tidak bisa dihindari, kecuali sang guru sendiri yang harus mampu dan bisa mengontrol hawa nafsunya. Untuk mendapatkan guru-guru yang mampu mengontrol hawa nafsu alias menjadi teladan, agaknya pemerintah mesti lebih jeli dan ketat.
Walaupun demikian, para perekrut seperti sekolah maupun pemerintah daerah setempat tidak bisa selalu disalahkan.
Kepala sekolah misalnya, bagaimana ia bisa merekrut guru honorer profesional jika sekolahnya sendiri kekurangan banyak guru. Makin banyak guru honorer yang direkrut, maka makin banyak pula Dana BOS yang dikeluarkan. Sedangkan, siswanya sedikit!
Jadi, wajar bila kemudian ada guru honorer yang mengajar di luar dari kompetensi bidangnya, alias merangkap mata pelajaran. Lah, daripada kelas selalu kosong dan siswa tidak belajar!
Akibatnya, pemerintah dan dinas pendidikan daerah setempat pun ikut tersalah. Kenapa mereka tidak merekrut guru honorer yang berkualitas untuk kemudian disebarkan ke sekolah-sekolah yang kekurangan guru?
Jawabannya, pun kembali jadi pelik. Guru honorer, yang merekrutnya adalah kepala sekolah dan digaji melalui Dana BOS.
Logikanya, jika pemerintah daerah setempat yang merekrut, maka pemerintah daerah itu sendiri yang berkewajiban menggajinya. Iya kalau daerah itu kaya dan APBD mereka besar. Lah, kalau sebaliknya? Ujung-ujungnya, perekrutan guru honorer jadi urusan kepala sekolah.