Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Murid SD Sangat Sedikit, Efek Zonasi atau Pertanda Program Kampung KB Sukses?

16 Januari 2020   00:31 Diperbarui: 16 Januari 2020   00:32 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua orang siswa kelas I sedang belajar. (Dokpri)

Awal tahun ajaran baru 2019/2020 lalu saya sempat terkejut ketika melihat siswa baru di SD kami. Awalnya begitu bahagia karena salah satu guru senior mengatakan bahwa jumlah siswa baru (kelas 1) ada 20 orang. Setelah saya lihat ke kelas ternyata hanya 2 orang, angka nolnya hilang.

Sontak saja guru tadi menjelaskan kenyataannya, sembari berkata:

"Nah, Zy inilah tandanya program Kampung KB sukses. 2 anak cukup, kan?"

Terang saja, saya dan rekan-rekan lain tergelak sejadi-jadinya. Ada juga rasa gelisah karena murid tahun ajaran 2019/2020 berkurang drastis. Padahal di tahun 2018, SD kami kedatangan murid baru sebanyak 9 orang.

Penurunan jumlah murid ini bukanlah karena kurangnya usaha. Sosialisasi sudah dilakukan, promosi juga sudah dimantapkan. Tapi, apalah daya desa kecil, di pelosok pula. Tambah lagi, setiap desa punya SD. Beruntung masih ada murid.

Zonasi di Desa Kecil, Menggelisahkan

Bagi Mas Nadiem, zonasi kedengarannya akan sangat mendukung peningkatan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Sekolah hari ini kesannya bukan lagi tentang unggulan dan non-unggulan, tetapi tentang pemerataan. Baik itu kualitas siswa, kuantitas siswa, serta juga gurunya.

Berangkat dari harapan ini, maka digaungkanlah PPDB zonasi dimasukkan dalam salah satu program kebijakan "Merdeka Belajar". Dengan terbitnya Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 tentang PPDB 2020, sistem zonasi mengalami sedikit modifikasi.

Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen, sedangkan untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah.

Sudut utama kebijakan ini adalah jalur afirmasi, yaitu untuk siswa dan keluarga yang tingkat ekonominya rendah baik di dalam maupun di luar zonasi. Jika menilik dari pengalaman tahun lalu, pendaftaran jalur afirmasi didasarkan pada jarak rumah siswa ke sekolah yang ia tuju.

Sebenarnya, berapapun komposisi PPDB jalur zonasi tidak terlalu berpengaruh besar terhadap jumlah siswa yang mendaftar di sekolah. Apalagi jika sekolah berada di pusat kota yang padat penduduknya.

Sekolah banyak, namun jumlah siswa juga banyak. Jangankan untuk sekolah negeri, sekolah swasta pun sampai bertingkat-tingkat kelasnya. Persaingannya semakin ketat, dan di sinilah hadir kegelisahan akibat zonasi.

Keinginan siswa untuk mendaftar di sekolah unggulan jati terbelenggu. Prestasi? Toh, tidak semua siswa punya piagam penghargaan tingkat nasional. Walaupun demikian, jika sekolahnya masih di kota tidak begitu bermasalah.

Yang bermasalah adalah jika kebijakan zonasi ini diterapkan di desa-desa terpencil alias pelosok. Karena pelosok, jumlah penduduknya tidak begitu padat dan hebatnya, setiap desa memiliki sekolah negeri.

Siswanya? Lebih hebat lagi. Beruntung jika para siswa di pelosok mau sekolah, berarti motivasi mereka untuk menjadi cerdas masih ada. Orangtua mereka juga masih peduli. Maka dari itulah, sekolah-sekolah negeri di pelosok tidak segan memberikan seragam gratis hanya agar anak mau bersekolah.

Namun, karena efek dari zonasi sekolah tidak bisa menduga tahun depan akan dapat siswa berapa. Terang saja, masing-masing sekolah pasti akan berkoordinasi dengan kepada desa setempat agar penduduk di desa itu mau menyekolahkan anaknya di desa itu.

Karena pertumbuhan penduduk di pelosok cenderung lamban maka jumlah anak yang masuk sekolah di setiap desa  senjang.

Misalnya sekolah di desa A, tahun lalu siswa yang mendaftar ada 5 orang dan tahun ini ada 15 orang. Sedangkan sekolah di desa B, tahun lalu siswa yang mendaftar ada 5 orang dan tahun ini ada 2 orang.

Karena efek zonasi, sekolah B tidak bisa meminta sekolah A untuk bersedia membagi murid agar sama rata. Padahal, jika saja zonasi itu belum berlaku, bisa saja kepala desa B bermusyawarah ke desa A untuk membagi siswa. Toh, untuk kemajuan desa juga.

Jika terus seperti ini, sekolah akan gelisah. Prihatin dengan guru-guru di sekolah, jangan-jangan nantinya mereka tidak dapat jam mengajar, lalu terhentinya tunjangan sertifikasinya. Belum lagi dengan sekolah, berkurang siswa maka berkurang pula dana BOS. Mau maju, tapi tiada dana? Apa mau dikata.

Penduduk di Pelosok Sering Hijrah Ke Desa yang Lebih Maju

Sudah daerahnya pelosok, penduduknya sering pindah pula. Hal ini agaknya sungguh memberatkan eksistensi sekolah negeri di daerah pelosok. Di desa kami misalnya, kebanyakan pasangan muda yang baru menikah membangun rumah tetap di desa sebelah.

Pesta nikah di desa lama, tapi setelah pesta bubar segera pindah ke desa sebelah. Memang tidak terpungkiri bahwa soal pindah ke desa mana, itu adalah hak sepenuhnya setiap penduduk. Barangkali di desa sebelah kemajuannya pesat, sinyalnya kuat, dan akses untuk dapat kerja lebih terbuka.

Hal-hal seperti ini tentu tidak lepas dari persaingan antar desa. Bagaimana kinerja kepada desa dalam membangun dan mengembangkan desanya. Entah itu dengan membuka lapangan pekerjaan, memudahkan akses informasi dan transportasi, hingga mengajak masyarakat untuk peduli dengan sekolah di desa.

Bahkan karena begitu gelisahnya melihat sekolah yang semakin sepi dengan siswa, muncul kesimpulan iseng bahwa program KB di desa telah sukses.

Bagaimana tidak, desa pelosok dan terpencil merupakan salah satu kriteria dan wilayahnya program kampung KB. Pendidikan yang rendah, infrastruktur yang kurang memadai, dan desa yang terpencil merupakan unsur-unsur penting yang menjadi pertimbangan pelaksanaan program Kampung KB.

Beruntungnya, program Kampung KB tidak akan berjalan jika desa dengan kriteria-kriteria yang disebutkan tadi tidak memiliki jumlah penduduk yang padat.

Bisa dibayangkan jika program Kampung KB diterapkan di daerah pelosok dengan pertumbuhan penduduk yang sepi. Programnya mungkin akan sukses, tapi bisa-bisa punahlah sekolah negeri yang ada di sana karena kehabisan siswa.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun