Yang bermasalah adalah jika kebijakan zonasi ini diterapkan di desa-desa terpencil alias pelosok. Karena pelosok, jumlah penduduknya tidak begitu padat dan hebatnya, setiap desa memiliki sekolah negeri.
Siswanya? Lebih hebat lagi. Beruntung jika para siswa di pelosok mau sekolah, berarti motivasi mereka untuk menjadi cerdas masih ada. Orangtua mereka juga masih peduli. Maka dari itulah, sekolah-sekolah negeri di pelosok tidak segan memberikan seragam gratis hanya agar anak mau bersekolah.
Namun, karena efek dari zonasi sekolah tidak bisa menduga tahun depan akan dapat siswa berapa. Terang saja, masing-masing sekolah pasti akan berkoordinasi dengan kepada desa setempat agar penduduk di desa itu mau menyekolahkan anaknya di desa itu.
Karena pertumbuhan penduduk di pelosok cenderung lamban maka jumlah anak yang masuk sekolah di setiap desa  senjang.
Misalnya sekolah di desa A, tahun lalu siswa yang mendaftar ada 5 orang dan tahun ini ada 15 orang. Sedangkan sekolah di desa B, tahun lalu siswa yang mendaftar ada 5 orang dan tahun ini ada 2 orang.
Karena efek zonasi, sekolah B tidak bisa meminta sekolah A untuk bersedia membagi murid agar sama rata. Padahal, jika saja zonasi itu belum berlaku, bisa saja kepala desa B bermusyawarah ke desa A untuk membagi siswa. Toh, untuk kemajuan desa juga.
Jika terus seperti ini, sekolah akan gelisah. Prihatin dengan guru-guru di sekolah, jangan-jangan nantinya mereka tidak dapat jam mengajar, lalu terhentinya tunjangan sertifikasinya. Belum lagi dengan sekolah, berkurang siswa maka berkurang pula dana BOS. Mau maju, tapi tiada dana? Apa mau dikata.
Penduduk di Pelosok Sering Hijrah Ke Desa yang Lebih Maju
Sudah daerahnya pelosok, penduduknya sering pindah pula. Hal ini agaknya sungguh memberatkan eksistensi sekolah negeri di daerah pelosok. Di desa kami misalnya, kebanyakan pasangan muda yang baru menikah membangun rumah tetap di desa sebelah.
Pesta nikah di desa lama, tapi setelah pesta bubar segera pindah ke desa sebelah. Memang tidak terpungkiri bahwa soal pindah ke desa mana, itu adalah hak sepenuhnya setiap penduduk. Barangkali di desa sebelah kemajuannya pesat, sinyalnya kuat, dan akses untuk dapat kerja lebih terbuka.
Hal-hal seperti ini tentu tidak lepas dari persaingan antar desa. Bagaimana kinerja kepada desa dalam membangun dan mengembangkan desanya. Entah itu dengan membuka lapangan pekerjaan, memudahkan akses informasi dan transportasi, hingga mengajak masyarakat untuk peduli dengan sekolah di desa.