Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukannya Guru Benci UN, tapi Pemerintah yang Tidak Konsisten

15 Desember 2019   00:42 Diperbarui: 15 Desember 2019   00:44 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar koran tempo. (Sumber: rukim.id)

Bahagia bagi mereka yang nilai UN-nya tertinggi hingga bisa dapat beasiswa prestasi. Tapi bukankah ini orientasi kognitif belaka? Pendidikan kita semakin tereduksi.

"Pendidikan direduksi menjadi sekolah, sekolah direduksi menjadi UN."

Begitulah kata salah seorang pakar pendidikan Muhammad Zuhdi. Beliau menganggap UN adalah salah satu ukuran keberhasilan pendidikan bagi sekolah dan otoritas pendidikan. Hal itu membuat tenaga sivitas akademika dikerahkan pada pada mata pelajaran yang dievaluasi dalam UN saja sehingga menjadi tereduksi.

Masih banyak mata pelajaran lain yang juga tidak kalah saing dalam menunjang masa depan seorang siswa. Olahraga misalnya, jika ditekuni hingga jadi atlet internasional atau bahkan Menteri Olahraga. Agama misalnya, jika ditekuni, bisa jadi ulama atau Menteri Agama. Begitu pula dengan mata pelajaran lain seperti seni budaya, PKN, maupun muatan lokal.

Jika pemerintah konsisten dengan UN, agaknya pendidikan kita akan lebih mengalir dan lebih bersaing. Siswa akan berlomba untuk fokus dan giat belajar agar dapat nilai UN tertinggi, karena makin tinggi nilai UN makin besar peluang untuk masuk ke perguruan tinggi favorit.

Tapi, sayangnya UN malah menghasilkan siswa pintar menghafal dan bernilai UN tinggi. Afektif? Entahlah. Maknanya siswa belum pintar, hanya tinggi nilai UN-nya saja.

Selanjutnya, UN juga akan menjadi "musuh dalam selimut" bagi kurikulum. Dengan sendirinya, UN dapat menghancurkan kurikulum terutama bagi siswa yang duduk di kelas 6, 9, dan 12. Mereka akan terfokus pada mata pelajaran UN yang semakin membelenggu pikir.

Sebaiknya, pemerintah harus segera fokus dan dapat memberikan pemahaman tentang evaluasi secara lebih luas. Bukan sekadar kognitif, melainkan sikap (spiritial, sosial) dan keterampilan juga dimasukkan dalam penilaian.

Tidak mesti harus menghapus UN, karena sejatinya pemerintah juga butuh evaluasi secara nasional terutama untuk memetakan pendidikan serta mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia.

Konsisten dengan pendidikan jangan setengah-setengah, karena pendidikan adalah investasi masa depan, investasi negeri ini.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun