Komunikasi yang baik sejatinya sangat penting untuk menghindari salah paham antara dua insan, terlebih lagi jika kita berbicara tentang hal-hal urgensi dan butuh tindak pengerjaan mendesak. Komunikasi harus jelas tersampaikan, dan jelas pula dicerna.
Namun, ada kondisi-kondisi tidak biasa yang menjadikan seseorang begitu peka atau bahkan terlalu peka dengan bahasa tubuh maupun pancingan kata-kata tertentu. Ibarat mengerjakan soal fisika, sebelum soal selesai dibacakan kita sudah tebak-tebak rumus apa yang akan digunakan.
Padahal soalnya belum selesai, dan bisa saja di ujung soal ada keterangan lain yang mengharuskan kita menggunakan rumus yang berbeda. Dan hal inilah yang terjadi pada rekan-rekan kerja saya beberapa waktu yang lalu.
Berawal dari perintah instansi untuk mengumpulkan kir dokter, (sebut saja namanya) Gon dan Leorio segera menjalin komunikasi dua arah terkait dengan rencana pembuatan kir. Gon segera mengajak Leorio untuk membuat kir di rumah sakit A besok pagi, dan Leorio mengindahkan.
Sepulang kerja, mereka bercerita bahwa di grup WA sedang terjadi diskusi hangat mengenai tempat pembuatan kir dokter. Ada yang menyarankan buat di rumah sakit A, ada yang sudah terlanjur buat di puskesmas, dan ada yang berencana buat kir di rumah sakit B, C dan D.
Walau demikian, tidak ada percakapan lebih lanjut dari Gon dan Leorio. Keesokan harinya, Leorio langsung mendatangi rumah sakit A dan membuat kir. Setelah kir selesai, Leorio segera menghubungi Gon. Tapi ternyata?
Gon sedang antre buat kir di rumah sakit B. Lah gimana ini? Dan yang lebih menyakitkan, ternyata instansi meminta mereka untuk buat kir di rumah sakit B saja. Leorio dengan berat hati segera membuat kir ulang, dan Gon menjadi tidak enak hati.
Salah Paham: Satu Pihak Susah, Satu Pihak tidak Enak
Sejatinya, hal ini terjadi karena kurangnya komunikasi. Tidak bisa semata-mata menyalahkan Leorio, karena nyatanya Gon lah yang mengingkari komunikasi. Tapi, Leorio telah salah juga mengapa setelah tiba di rumah sakit A tidak menghubungi Gon dan menanyakan keberadaannya.
Realitanya, Gon diuntungkan karena kebetulan kir yang ia buat sesuai dengan arahan instansi, tapi di sisi lain Gon merasa tidak enak dengan Leorio yang harus dua kali kebasahan. Gon pula tidak menghubungi Leorio. Kalau memang pindah rumah sakit, mestinya beri kabar.
Leorio, di samping kesusahan agaknya juga merasa sesal karena tidak terlebih dahulu menanyakan keberadaan Gon. Ujung-ujungnya salah semua, dan sama-sama merasa tak enak hati.
Komunikasi Jangan Setengah Hati
Nyatanya, baik pihak pemberi informasi maupun pendengar mesti mengalirkan informasi secara detail, jelas, dan mantap. Jika perlu, harus ada komunikasi lanjutan karena siapa tahu ada perubahan rencana mendadak.