Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Digitalisasi Pendidikan ala Nadiem dan Gerbong Kereta yang Tertinggal

3 November 2019   14:48 Diperbarui: 4 November 2019   20:33 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gerbong Kereta. (Sumber: Tribunnews.com)

Anda pernah naik kereta api? Jika pernah, kemarin duduk di gerbong kelas bisnis atau ekonomi? Duduk di gerbong depan, tengah atau belakang?

Mau duduk di gerbong manapun pasti seru dan menyenangkan. Apalagi jika kita duduknya dipinggir dan leluasa menatap alam. Walaupun kepala pusing dan mulut memanggil uwak, rasanya muka ini tidak mau berpaling dari melihat sekeliling.

Namun, apa jadinya jika kita duduk di gerbong kereta paling belakang dan tiba-tiba gerbong itu terlepas dari sangkutannya? Ia akan jadi gerbong kereta yang tertinggal dan kita pasti takut seraya berdoa agar masih diperkenankan hidup oleh Tuhan (kalo ingat).

Begitu pula kiranya dengan keadaan pendidikan kita sekarang ini. Ada yang berjalan di gerbong paling depan, ada yang nyaman di tengah, dan ada yang selalu tertinggal.

Sekolah yang memiliki fasilitas mumpuni untuk bersaing dan menerima kebijakan baru segera dirumuskan menjadi sekolah model. Terang saja, pemerintah ingin membuktikan bahwa "ini loh" kebijakan kami, menarik bukan?

Akhirnya, sekolah lain yang masih masuk dalam kategori favorit pun tak mau kalah. Mereka menanam harapan agar tahun depan memiliki predikat sekolah model atau sekolah rujukan.

Lalu bagaimana dengan nasib sekolah tertinggal, terdepan, terluar (3T)?

Di saat sekolah model sudah membeli pulsa listrik, sekolah 3T sibuk mencari subsidi minyak tanah. Di saat sekolah model sudah mengenalkan 4G LTE bahkan 5G, sekolah 3T masih kepo dengan tower yang tinggi-tinggi. Bagaimana mau digitalisasi pendidikan? Ya, mau tidak mau.

Nadiem Mengusung Digitalisasi Pendidikan

Sebenarnya, apa yang harus dijadikan titik tolak awal dalam digitalisasi saat ini? Apakah proses belajar-mengajar, aplikasi pendidikan, sarana prasarana, sekolah atau pelakunya?

Semua ini begitu senjang dan tak bisa sekadar tebang pilih. Misal Mendikbud mau mendigitalisasikan KBM, maka segala sesuatu yang terkait langsung dengan KBM seperti kompetensi guru, kemampuan siswa, sarana dan prasarana, serta media pembelajaran harus ikut digital.

Jujur saja, tidak mudah untuk membuat skala prioritas dari masalah-masalah ini. Sekilas, kesenjangan kualitas pendidikan kita memang terlihat redup karena tertutupi oleh prestasi sekolah-sekolah model yang mendunia.

Tapi lagi-lagi pandangan itu hanya indah jika kita lihat dari gerbong depan saja. Gerbong belakang bagaimana? Sarana prasarana yang dimiliki mungkin hanya sisa, guru-guru yang mengajar hanyalah orang yang benar-benar mengabdi, dan media ajar hanyalah "kitab lama" yang belum sampai revisinya.

Dengan kenyataan ini, kita harus dukung harapan Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ahmad Suadi yang meminta Nadiem Makarim tidak hanya peduli dengan digitalisasi sekolah, namun juga pembangunan gedung sekolah yang masih kurang, terutama di daerah terpencil.

Siapa yang tidak mau berkemajuan. Setiap sekolah juga mau digitalisasi, murid juga demikian. Jika sekolah A menggelar ujian nasional berbasis komputer, maka sekolah Z juga pasti iri jika tidak bisa menggelar sistem yang sama dalam kurun waktu satu-dua tahun.

Sudah banyak usaha hebat yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang ingin maju. Mulai dari merekrut teknisi komputer berbasis IT, meminjam komputer ke sekolah elit, hingga rela menggelar ujian hingga 3-5 sesi, asalkan bisa berbasis digital.

Apakah sekolah 3T juga bisa? Jangan-jangan mereka tidak tahu, atau bahkan belum mengenal apa itu digital dan apa itu online.

Seperti itu pula kenyataan yang saya alami saat mengajar di sekolah pelosok. Ketika saya kenalkan IT dan laptop, mereka begitu bahagia dan seakan tidak pernah berhenti fokus untuk mengajar. Saat di kelas, belum sempat saya hidupkan laptop, mereka sudah maju dan berkerumun di meja guru.

Sungguh, mereka hanya ingin melihat walpaper laptop saja. Selama ini, yang mereka kenal hanyalah layar tancap (OHP klasik) yang sebenarnya sudah viral saat saya masih SD. Tapi sekarang sudah lewat 19 tahun, kok mereka malah mengulang cerita lama?

Ada sedih, ada duka, ada gundah, ada gelisah, dan ada harapan. Semua perasaan ini menyatu dan meninggi bersama harapan agar pendidikan kita "jangan makin senjang".

Sekolah 3T Bak Gerbong Kereta yang Tertinggal

Ilustrasi Sekolah 3T. (Sumber: tintapendidikanindonesia.com)
Ilustrasi Sekolah 3T. (Sumber: tintapendidikanindonesia.com)
"Tapi yang jelas berhubungan karena saya milenial dan background-nya teknologi, sudah pasti perubahan yang terjadi ke sana. Tapi saya belum bisa mention, apa rencana saya yang saya lakukan apa, yang sudah jelas kita ingin memfokuskan kepada manusia yang keluar dari sistem pendidikan seperti apa." (Nadiem Makarim)

Arahnya tidak lain adalah pendidikan yang berbasis teknologi dan memfokuskan agar sistem pendidikan kita keluar dari kesenjangan yang bertumpuk-tumpuk ini. Rencana apapun yang mengarah kepada digitalisasi dan kemajuan tentu akan sangat didukung, asal jangan membuat gerbong yang tertinggal keluar dari rel.

Terang saja, jalur kereta api tidak melulu datar dan tidak pula selalu menurun. Ada kalanya kereta api harus menempuh jalan terjal yang mengakibatkan kecepatan mereka berkurang. Bayangkan jika keadaan ini terjadi pada pendidikan dan sekolah 3T sebagai gerbong yang tertinggal.

Selama gerbong tertinggal masih bersatu dengan ikatan rantai yang kuat, mereka tentu akan terus melaju walau harus naik dan turun bukit. Gerbong depan pelan, mereka ikut pelan. Gerbong depan ngebut, mereka ikut ngebut. Namun di saat ngebut, ada kerawanan yang terjadi dan itu adalah putus rantai.

Gerbong yang rawan putus rantai adalah gerbong yang paling belakang. Terang saja, secara matematis gerbong ini akan terkejut jika dipacu secara mendadak. Jika jalur kereta masih datar dan cenderung menurun, maka gerbong yang tertinggal tadi masih bisa mengikuti.

Tapi bagaimana jika lajur kereta tiba-tiba menanjak? Gerbong yang tertinggal akan semakin tertinggal dan bisa saja kembali ke stasiun awal. Ngerinya, dalam kemunduran ini gerbong yang tertinggal bisa saja terjatuh dan keluar dari rel.

Kita tentu tak mau jika pendidikan Indonesia di hari esok semakin senjang. Maunya, antara sekolah 3T dan sekolah model itu setara, seiras, harmoni, dan seirama dalam menjunjung kualitas pendidikan yang berkemajuan.
Untuk kembali menyatukan gerbong yang terputus, mendekatkan gerbong yang tertinggal, serta  mewujudkan harapan yang indah ini, lagi-lagi kita harus bisa merusak sistem. Sayangnya, bukan kita yang berkuasa merusaknya.

Kuasa penuh ada di tangan Nadiem Makarim. Harapannya, akan muncul kebijakan-kebijakan pendidikan yang mengusung kesetaraan dan pemerataan kualitas tanpa melupakan kebijaksanaan. Semua untuk pendidikan yang lebih baik. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun