Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Digitalisasi Pendidikan ala Nadiem dan Gerbong Kereta yang Tertinggal

3 November 2019   14:48 Diperbarui: 4 November 2019   20:33 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gerbong Kereta. (Sumber: Tribunnews.com)

Semua ini begitu senjang dan tak bisa sekadar tebang pilih. Misal Mendikbud mau mendigitalisasikan KBM, maka segala sesuatu yang terkait langsung dengan KBM seperti kompetensi guru, kemampuan siswa, sarana dan prasarana, serta media pembelajaran harus ikut digital.

Jujur saja, tidak mudah untuk membuat skala prioritas dari masalah-masalah ini. Sekilas, kesenjangan kualitas pendidikan kita memang terlihat redup karena tertutupi oleh prestasi sekolah-sekolah model yang mendunia.

Tapi lagi-lagi pandangan itu hanya indah jika kita lihat dari gerbong depan saja. Gerbong belakang bagaimana? Sarana prasarana yang dimiliki mungkin hanya sisa, guru-guru yang mengajar hanyalah orang yang benar-benar mengabdi, dan media ajar hanyalah "kitab lama" yang belum sampai revisinya.

Dengan kenyataan ini, kita harus dukung harapan Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ahmad Suadi yang meminta Nadiem Makarim tidak hanya peduli dengan digitalisasi sekolah, namun juga pembangunan gedung sekolah yang masih kurang, terutama di daerah terpencil.

Siapa yang tidak mau berkemajuan. Setiap sekolah juga mau digitalisasi, murid juga demikian. Jika sekolah A menggelar ujian nasional berbasis komputer, maka sekolah Z juga pasti iri jika tidak bisa menggelar sistem yang sama dalam kurun waktu satu-dua tahun.

Sudah banyak usaha hebat yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang ingin maju. Mulai dari merekrut teknisi komputer berbasis IT, meminjam komputer ke sekolah elit, hingga rela menggelar ujian hingga 3-5 sesi, asalkan bisa berbasis digital.

Apakah sekolah 3T juga bisa? Jangan-jangan mereka tidak tahu, atau bahkan belum mengenal apa itu digital dan apa itu online.

Seperti itu pula kenyataan yang saya alami saat mengajar di sekolah pelosok. Ketika saya kenalkan IT dan laptop, mereka begitu bahagia dan seakan tidak pernah berhenti fokus untuk mengajar. Saat di kelas, belum sempat saya hidupkan laptop, mereka sudah maju dan berkerumun di meja guru.

Sungguh, mereka hanya ingin melihat walpaper laptop saja. Selama ini, yang mereka kenal hanyalah layar tancap (OHP klasik) yang sebenarnya sudah viral saat saya masih SD. Tapi sekarang sudah lewat 19 tahun, kok mereka malah mengulang cerita lama?

Ada sedih, ada duka, ada gundah, ada gelisah, dan ada harapan. Semua perasaan ini menyatu dan meninggi bersama harapan agar pendidikan kita "jangan makin senjang".

Sekolah 3T Bak Gerbong Kereta yang Tertinggal

Ilustrasi Sekolah 3T. (Sumber: tintapendidikanindonesia.com)
Ilustrasi Sekolah 3T. (Sumber: tintapendidikanindonesia.com)
"Tapi yang jelas berhubungan karena saya milenial dan background-nya teknologi, sudah pasti perubahan yang terjadi ke sana. Tapi saya belum bisa mention, apa rencana saya yang saya lakukan apa, yang sudah jelas kita ingin memfokuskan kepada manusia yang keluar dari sistem pendidikan seperti apa." (Nadiem Makarim)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun