Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Duhai Orangtua, Tetaplah Temani Anakmu Belajar di Rumah

20 Oktober 2019   11:58 Diperbarui: 20 Oktober 2019   15:17 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak belajar sendiri. (Sumber: harrania.com)

"Nak, di sekolah belajar baik-baik ya! Jangan main terus... Patuhi perintah guru, bajunya jangan dikotori. Nanti sudah selesai langsung pulang ke rumah!"

Rasanya kita rindu dengan pesan-pesan orangtua saat SD dulu. Mereka begitu perhatian dengan kita. Hari pertama kita sekolah, orangtua menyempatkan dirinya untuk mengantar kita ke sekolah. Hari kedua demikian, hari ketiga, bahkan hampir satu minggu lamanya.

Masa-masa itu sungguh spesial. Walaupun orangtua dulunya mungkin tidak tamat SD, tapi sikap mereka seakan lebih pandai dari seorang profesor. Tak perlu beribu ungkapan kata-kata ilmiah, tapi cukup dengan kata-kata sederhana seraya tersenyum.

Saat kita pulang, orangtua sudah menanti kita. Bukan pembantu, bukan pula penjaga kebun melainkan ayah atau ibu kita. Ketika kita menginjak teras, orangtua kita sudah membuka pintu rumah dan segera menyambut kedatangan kita.

Belum selesai sampai di sana, kita segera diminta untuk ganti baju. Baju pun disiapkan, dan setelah kita keluar dari kamar, makan siang sudah siap di meja makan.

Jikapun orangtua kita adalah petani, biasanya kita akan diminta untuk segera pergi ke kebun setelah pulang sekolah. Ceritanya pun sama, orangtua senantiasa menanti kita dan menyempatkan dirinya untuk makan siang bersama kita, walaupun di tengah kebun atau di pondok.

Biarkan Sejenak Mereka Bermain

Jika kita sudah pulang sekolah, sudah ganti baju, serta sudah makan, orangtua mempersilahkan kita untuk bermain. PR bagaimana? Nanti dulu, ini bukanlah kisah Upin-Ipin dengan Kakaknya yang Garang itu!

Kita boleh bermain asal jangan pulang kesorean. Main bola, main sepeda, main masak-masakan, main karet, petak umpet, hingga main ke rumah teman. Selama kita tidak banyak ulah, selama itu pula kita selalu disenangi orangtua.

Beda hal jika kita tidak segera pulang ke rumah saat selesai sekolah. Belum ganti baju, belum makan siang, kita sudah bermain ke rumah teman dan akan pulang jika langit sudah kemerahan.

Dan apa yang terjadi saat kita pulang? Plaakkk! Pantat kita dipukul oleh ibu, dan ia ngomel habis-habisan. Terang saja, kita masih kecil dan belum tahu bagaimana khawatirnya orangtua menanti kita yang tak kunjung pulang ke rumah.

Akhirnya, timbullah mitos-mitos membahana yang mulai membuat kita takut:

"Besok, pulang sekolah langsung ke rumah ya, nanti diculik hantu!"

"Sekarang banyak penculik anak. Kalo kamu diculik, kepalamu akan dibuang sebagai tumbal jembatan!"

Dan banyak lagi.

Tetap Temani Mereka Belajar

Menemani anak belajar (Sumber: tempo.co)
Menemani anak belajar (Sumber: tempo.co)
Kebanyakan anak yang sukses dan berprestasi di sekolah adalah mereka yang selalu mengulang pelajarannya di rumah. Jika selama ini para orangtua hanya menuntut guru untuk mencerdaskan anak-anak mereka, maka akan mustahil anak itu bisa berprestasi.

Guru hanya memotivasi, mentrasfer ilmu, dan memberikan langkah-langkah untuk sukses. Seterusnya? Kembali kepada orangtua.

Jika orangtua perhatian dan menemani anak belajar di rumah, mereka akan sangat tahu gerak-gerik kita, mereka juga tahu progress perkembangan keilmuan kita, serta mereka juga kenal dengan guru-guru kita.

Makanya jika kita pulang sekolah, orangtua selalu bertanya kita dapat nilai berapa, belajar sama siapa, ada PR atau tidak, tadi jajan apa di sekolah. Selama kita menjawabnya dengan jujur, maka amanlah kita. Masih ada kesempatan untuk bermain. Hehe

Tapi jika kita bohong? Sungguh alamat bahaya. Terkait dengan nilai. Dulu sewaktu SD saya sering pula dapat nilai 0, 20, dan 50 pada pelajaran matematika. Nilai itu begitu horor bagi saya, hingganya takut untuk mengatakan kepada orangtua.

Ya, walaupun memang teman satu kelas tidak ada yang dapat nilai di atas 50, tetap saja jika nilai belum lewat dari 60 maka belum aman. Dan karena ketakutan, saya begitu bingung dan takut untuk pulang sekolah.

Tapi, menjelang pulang saya melihat teman-teman yang dapat nilai rendah mengoyak kertas dan membuangnya ke semak-semak didekat pagar sekolah. 

Dan kreatifnya, kertas yang dikoyak adalah dua lembar. Selembar nilai 0 dan selembar lagi kertas kosong yang memang sambungan dari kertas bernilai 0 itu sendiri. Ya, biar tidak ketahuan. Hihi

Beberapa kali mengoyak kertas, akhirnya ibu saya tahu. Hebatnya, dia hitung berapa lembar kertas yang ada di buku. Dan benar saja, kertas di buku saya berkurang dua lembar. Padahal waktu itu saya sedang belajar ditemani orangtua.

Mulailah ada introgasi. Saya hanya mengaku mengoyak kertas untuk membuat pesawat terbang mainan. Agaknya ibu tahu bahwa saya sedang berbohong, tetapi ia tidak mau menganggu waktu belajar saya.

Hebatnya, dua hari kemudian ibu saya menunjukkan kertas matematika bernilai 0 yang sudah usang. Jujur saja, saya begitu heran dan memerah. Dari mana ibu bisa dapat kertas itu.

Dan ternyata, ibu mendapatkannya tepat dari semak-semak tempat kami membuang kertas nilai beberapa hari yang lalu. Ibu mendapat informasi dari seseorang yang tinggal di dekat SD. Kata orang itu, anak-anak sering membuang kertas di pagar sekolah yang berbatasan langsung dengan rumahnya.

Wah, saya ketahuan! Akhirnya saya dihukum tidak boleh main sepeda selama seminggu. Beberapa kali saya diam-diam keluar rumah dengan sepeda, tetapi esok harinya ban sepeda saya tinggal 1. Ya, itu kerjaan ayah!

Bayangkan jika orangtua tidak pernah menemani anaknya belajar di rumah. Anak tidak akan pernah belajar, dan tidak akan menaruh perhatian kepada sekolah. Orangtua juga tidak akan tahu anaknya dapat nilai berapa, kerjaan di sekolahnya benar atau tidak.

Guru mudah saja menebaknya. Ketika anak-anak selalu ketinggalan buku pelajaran, ketika baju anak kusut, ketika PR tidak dikerjakan, itulah tanda-tanda anak tidak diperhatikan.

Terang saja, sepintar apapun guru pasti mereka punya kesalahan. Tepatnya kurang teliti, atau mungkin kurang literasi. Dan kesalahan-kesalahan ini tidaklah bisa dideteksi oleh anak, melainkan hanya bisa diketahui oleh orangtua yang perhatian dan selalu menemani anak belajar di rumah.

Saya ingat waktu itu kelas 5 SD, pelajaran IPA saya dapat nilai 80, benar 4 dari 5 soal. Karena ditemani ibu dan ayah belajar di rumah, ibu saya yang peka segera mengusik jawaban saya yang salah tersebut.

Pertanyaannya waktu itu "tempat tinggal makhluk hidup disebut .....". Jawaban saya adalah habitat, tetapi disalahkan oleh guru. Guru membenarkannya dengan tulisan adaptasi. Saya mah masa bodoh, toh nilainya masih 80.

Tapi beda dengan ibu. Ibu yang mencari jawaban di buku paket IPA akhirnya membenarkan jawaban saya. Dan esok paginya, ibu saya memberi pesan agar saya melapor ke guru IPA, agar guru membenarkan jawaban yang salah. Tapi jawaban guru tetaplah adaptasi.

Malam harinya, ibu saya segera bertanya: "Sudah kamu tanya tadi? Sudah dibenarkan? Dapat 100 kan? ". Saya jawab "tidak bu". Kata ibu guru jawabannya tetap adaptasi.

Apa yang terjadi? Ternyata keesokan harinya ibu saya datang ke sekolah dan menemui guru IPA tanpa sepengetahuan saya. Tapi ternyata guru tersebut sedang izin. Ibu saya langsung menemui kepala sekolah dan segera meminta klarifikasi jawaban.

Kata ibu kepada kepala sekolah:

"Pak, saya mau tanya jawaban anak saya ini benar atau salah. Jika salah, saya mau minta tolong tunjukkan jawaban yang benar, agar nanti saya bisa mengajarkannya di rumah!"

Kepala sekolah yang membaca buku latihan saya langsung membenarkan jawaban saya. Setelah ibu saya beranjak pulang (tanpa memberi saya uang jajan... Hehe) ia mendengar pengumuman dari kepala sekolah, "Kepada seluruh dewan guru, harap segera berkumpul di ruang kepala sekolah!"

Pikiran yang singgah dibenak ibu tidak lain adalah rapat dadakan karena malu. Mungkin isinya adalah nasehat agar dewan guru tidak ada lagi yang ceroboh, hingga sampai orangtua siswa yang membenarkan jawaban.

Waktu itu, ada dua kali ibu saya datang ke SD. Kasus pertama tentang soal IPA, dan kasus kedua tentang soal Matematika. Karena protes itu, akhirnya ibu saya terkenal oleh pihak kantin. Bahkan kata pihak kantin, "kalau Emak Ozy sudah datang ke sekolah, berarti ada yang tidak beres dengan guru-guru SD!"

Terang saja, orangtua yang biasa datang ke SD waktu itu hanyalah orangtua yang mendapat laporan bahwa anak mereka menangis dan diganggu teman sekelas.

Ibu menemani anak belajar. (Sumber: tempo.co)
Ibu menemani anak belajar. (Sumber: tempo.co)
Begitulah sekilas tentang pentingnya orangtua menemani anak saat belajar di rumah. Memang tidak terpungkiri bahwa selain orangtua, ada juga "mbah Google" atau guru privat yang menemani anak belajar. Tetapi tetap saja mereka perlu ditemani. Apalagi hari ini, jangan-jangan anak mengaku belajar tetapi nyatanya main game online dan volumenya dikecilkan!

Biarpun orangtua sudah capek dengan kerjaannya, biarpun mereka harus tidur duduk alias pura-pura memperhatikan anak mereka mengulang pelajaran, itu semua tidaklah mengapa. Yang penting, sosok nyata orangtua hadir di samping, ataupun dibelakang anak-anak.

Jika ada tugas atau PR, temanilah sampai anak selesai mengerjakannya. Jika tidak ada tugas, maka tunggulah sejenak anak mengulang pelajaran sampai mereka menyiapkan buku pelajaran esok hari.

Jangan bosan untuk memeriksa tulisan mereka. Entah itu sekadar salah eja, salah huruf, atau banyaknya coretan di dalam buku, segeralah perbaiki. Sekilas tampaknya sederhana, tetapi kesederhanaan ini bisa menjadi kebiasaan anak-anak hingga mereka dewasa.

Semua kesibukan, kerepotan, dan kelelahan ini tidak lain hanyalah agar anak bisa meraih kehidupan yang lebih baik di hari esok. Pendidikan oke, akhlak oke, cerdas iya. Siapa sih orangtua yang tidak mau anaknya seperti itu?

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun