Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Saat Merantau, Mendingan Ngekos atau Numpang dengan Saudara?

16 Oktober 2019   23:07 Diperbarui: 13 Januari 2022   16:52 6090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perantau. (Sumber: www.irishtimes.com)

Masa-masa awal tamat sekolah merupakan masa antagonistis bagi banyak orang. Pikiran-pikiran dalam akal seakan berkelahi dan berdebat berkepanjangan, antara mau tetap santai menikmati masa muda atau mau segera bersusah payah.

Secara logis, kesimpulan-kesimpulan yang datang di meja khayal masih berujung dengan perdebatan dalam pikiran. Jika terlalu lama menikmati masa muda nanti suksesnya lama, tapi jika masih muda sudah bersusah payah, kapan lagi bisa menikmati masa-masa muda yang singkat itu.

Merantau, Pilihan Untuk Sukses

Entah itu tamatan SMA, SMK, STM, D3 bahkan S1, masing-masing dari mereka mulai suntuk berhadapan dengan kenyataan. Sebagiannya kadang sudah terlalu pusing untuk bercengkramah dengan sekolah, dan sebagiannya lagi tidak punya dana untuk melanjutkan pendidikan. 

Dari sanalah muncul niat yang besar untuk segera mencari pekerjaan.

Namun, lagi-lagi mencari kerja saat ini sangatlah sulit. Apalagi dengan modal kompetensi diri yang pas-pasan, berasal dari keluarga yang pas-pasan, dan tidak ada "orang dalam". 

Terlebih lagi, sebelumnya mereka hanyalah lulusan sekolah maupun perguruan tinggi lokal. Boro-boro mau dapat tawaran kerja, dilirik saja mujur.

Akhirnya, banyak dari mereka yang memilih untuk merantau dan mencari peruntungan hidup di tanah orang. Berbekal dari cerita orang atau kenalan saudara yang sudah sukses di luar kota, mereka pun nekat meninggalkan kebahagiaan yang selama ini sudah mereka dapat di dalam keluarga.

Mulailah mereka mengemas pakaian kemudian beli tiket bus sembari meminta doa dan dukungan keluarga, kerabat, serta tetangga. Jarang ada dari mereka yang merantau naik pesawat, ya mungkin kurang ada manis-manisnya. Hehe.

Mendingan Ngekos?

Agaknya ini cukup dilematis. Bagi mereka yang ngebet ingin merantau tapi tidak punya saudara di tanah rantau lebih memilih untuk ngekos. Walau mereka belum merasakan pahitnya kehidupan anak kos, tapi pertanyaan hati saat itu hanya berputar di "mau atau tidak mau".

Dari kos-kosan itulah perjalanan mereka dimulai. Beberapa bulan ngekos, mungkin tabungan masih ada dan pikiran tidak begitu berat. Apalagi jika sebelumnya mereka diajak oleh teman untuk merantau. Jadinya, beban hidup dan keluhan bisa sedikit diporsir.

Namun, keadaannya akan berubah drastis jika sudah 3-6 bulan belum juga dapat kerja. Sudah pontang-panting berkeliaran cari kerja tapi belum dapat, tabungan habis, makan mulai ngirit, dan mau pulang kampung agaknya "mustahil".

Tapi lagi-lagi untuk apa merantau jika ujungnya terus-terusan mengeluh. Dengan kesabaran yang luar biasa, perlahan pasti akan ada jalan berupa tawaran pekerjaan. Dan benar saja, saat anak rantau sudah bekerja mereka sungguh bahagia.

Walaupun agaknya kesepian, namun sepi itu bisa terobati dengan adanya teman-teman baru, rekan kerja, dan masyarakat baru. Bahkan, jika suntuk dengan keberadaan mereka, para perantau bisa memilih untuk lembur kerja.

Setelah pulang kerja pun enak. Tinggal duduk santai di kosan. Jika libur, bisa tidur bahkan hingga dua hari dua malam tanpa ada yang menganggu. Atau mau begadang terus-terusan pun tak masalah.

Atau Numpang dengan Saudara?

Berbeda kisahnya dengan suka duka sebagian anak rantau yang punya kerabat atau saudara. Entah itu keinginan mereka sendiri, atau malah disuruh oleh orangtua, anggapan bahwa numpang di rumah saudara "lebih irit" semakin ditinggikan.

Akhirnya, anggapan bahwa merantau itu "susah" semakin terpinggirkan. Terang saja, banyak kerabat dan saudara yang ketika mereka pulang kampung saat liburan, tampak benih-benih kesejahteraan.

Sudah sikapnya sangat baik, suka memberikan jajan dan uang saku, bahkan berkali-kali menawarkan agar nanti jika sudah lulus sekolah ikut mereka saja bekerja di tanah rantau. Kesusahan tanah rantau tak pernah mereka ceritakan. Yang ada hanyalah wisata A B C, makanan khas ini itu, serta gaji-gaji besar yang menggiurkan.

Dari khayalnya seorang calon rantau, mulailah terpikir dan hitung-hitungan. Jika ngekos Rp 300ribu/bulan, makan Rp 500ribu/bulan, dan ditambah keperluan lain Rp 300ribu/bulan. Itupun jika orangnya hemat.

Tapi jika numpang di rumah saudara, bisa jadi anak rantau hanya cukup membayar uang kosnya saja. Itupun jika tuan rumah mau menerima. Kebanyakan saudara maupun kerabat sok jual mahal dengan menolak pemberian dari anak rantau.

Dan, dari sinilah polemik anak rantau dimulai 1 bulan, 2 bulan, bahkan 3 bulan anak rantau masih bisa santai. Sesekali ingin membantu mencuci piring ataupun menyapu rumah, malah berkali-kali ditolak oleh tuan rumah.

"Gak usah dek, bibi saja."
"Gak usah dek, nanti biar anak Om yang nyapu. Kamu istirahat saja, atau nonton TV gih"
"Baju kotor taruh di sini saja, nanti ayuk yang cucikan!"

Semua serba tidak enak. Tidak enak karena segan, tapi juga tidak enak untuk terus menolak. Akhirnya, muncullah kebaikan dalam diam sebagai upaya balas jasa.

Namun, akan beda keadaannya jika sudah lebih dari 3 bulan. Pribadi kita akan tampak, dan pribadi kerabat juga akan ketahuan. Yang sebelumnya baik, bisa jadi lebih baik atau malah jadi sosok yang cerewet dan menjengkelkan.

Mungkin saudara kita tetap baik kepada kita, tapi bagaimana dengan suami/isterinya, serta anak-anaknya? Belum tentu.

Lain kepala lain pula isi otak, beda pula rasa hati. Perlakuan itu tidaklah sama dan sudut pandangnya berbeda. dan di sinilah awal mula para perantau untuk balas jasa.

Entah itu karena ikhlas, terpaksa, atau memaksakan dirinya, para perantau akan berusaha sekeras mungkin untuk membantu keperluan saudara tempat ia menumpang tadi. Awalnya sungguh bukanlah beban. Namun jika perantau sudah sibuk bekerja, maka hidup mereka akan lebih berat.

Mirisnya, saudara atau kerabat kadang tidaklah tahu kita butuh istirahat sepulang dari kerja, bahkan mereka tidak mau tahu. Yang mereka tahu, kita terus sigap untuk membantu keperluan mereka. Entah itu keperluan rumah, ataupun keperluan di luar rumah.

Padahal, sesekali para perantau ingin dimengerti. Tentu saja mereka tidak selalu sehat setiap harinya. Tapi, mau tidak mau kesakitan itu harus segera disimpan rapat-rapat. Mengeluh juga tak ada guna, karena sejatinya jasa numpang tadi belum terbalaskan.

Di saat-saat inilah para perantau rindu kampung halaman. Rindu tinggal serumah dengan orangtua. Dan anggapan bahwa "rumah ternyaman adalah rumah orangtua" kembali berdenging di telinga.

Terang saja, di rumah orangtua tidurnya bebas, makanan tersedia, hingga anak sakitpun orangtua begitu peka. Beda dengan numpang di rumah saudara. Belum tentu saat perantau pulang kerja, makanan akan tersedia. Belum tentu juga mereka bisa langsung istirahat di rumah.

Dan kemudian muncullah perasaan, mendingan ngekos daripada harus tinggal di rumah saudara. Pulang kerja bisa langsung tidur dan istirahat, atau bisa makan di luar tanpa ada yang menghalangi.

Bagaimana Cara Perantau Bersikap?

Jika cerita anak rantau hanya berkisar tentang kebahagiaan dan kesenangan, maka semua orang akan berlomba-lomba untuk merantau. Tapi, jika cerita mereka tentang duka, keluh, gelisah, suntuk, dan gundah, maka tak akan ada satupun orang mau merantau.

Saat ngekos, kemandirian perantau akan meningkat. Walau diawali dengan serba hitung-hitungan, namun ending-nya adalah menjadi seorang yang bijak dalam menghadapi sesuatu.

Begitupun saat numpang dengan saudara. Semua bergantung pada bagaimana para perantau bersikap. Sikap terbaik adalah bagaimana caranya perantau bisa nyaman, dan orang-orang tempat ia menumpang pun nyaman.

Pada akhirnya, tinggal bersama orangtua lebih nyaman daripada ngekos ataupun numpang di rumah saudara.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun