Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beban Si Sulung: Antara Tulang Punggung dan (Terpaksa) Telat Nikah

19 Agustus 2019   21:29 Diperbarui: 26 Agustus 2019   21:03 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Telat Nikah. Gambar dari Pixabay

Laki-laki ada yang sudah berumur 28, 30, 32, bahkan 37 tahun tapi belum menikah. Perempuan, dari mulai umur 27 hingga 35 tahun pun belum menikah. Hebatnya mereka terus bekerja, berkarya, dan selalu memberikan "uang jajan" kepada orang tua dan adik-adik mereka.

Sesekali saya tanya kenapa belum menikah, alasannya karena ingin menabung, ingin bayar SPP kuliah adik-adiknya, dan alasan yang tidak ketinggalan adalah karena jodoh belum tiba, alias masih terasingkan.

Terkait dengan persoalan menikah, beberapa dari mereka, termasuk saya cenderung mempertimbangkan aspek finansial daripada kesiapan mental.

Lagi-lagi ini dilematis. Biaya nikah memang tidaklah mahal, bahkan gratis. Modalnya hanya mahar "terbaik" saja. Tapi sayangnya itu bukanlah beban. Pikiran dan masalah utamanya adalah "gengsi" dan "kebiasaan" di masyarakat. Di desa A misalnya, rata-rata standar "uang jajan" untuk keluarga calon istri 30-40 juta. 

Standar ini bisa naik hingga 3 kali lipat tergantung dengan gelar akademik yang ada di belakang nama si Perempuan. Makin tinggi strata makin tinggi pula "uang jajan". Bayangkan saja jika gelar si perempuan sudah S3. Woww makin hot biayanya. Mirisnya, beberapa orang tua seakan egois dan "kekeh" dengan standar itu.

Alasan orang tua sebenarnya jelas dan logis, yaitu mengikuti adat dan kebiasaan di masyarakat. Kita bisa-bisa saja menikah dengan cara sederhana, tapi orang tua akan bilang, "Kalian enak! Kami yang malu di masyarakat!"

Orangtua akan dibilang sok irit dan bahkan pelit. Padahal lagi-lagi ini bukanlah rukun nikah.

Fenomena ini agaknya menjadi beban bagi anak sulung. Ya, mereka yang sebelumnya sudah menunda nikah demi menyenangkan orang tua dan adik-adiknya, sekarang seakan dipaksa untuk "telat" nikah. Khawatirnya, makin lama menikah akan makin banyak pertimbangan.

Sungguh, gengsi dan kebiasaan masyarakat jangan sampai menambah beban anak sulung untuk menyempurnakan agamanya.

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun