Mohon tunggu...
Alexander Ryusandi
Alexander Ryusandi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi UI

Saya suka meneliti bagaimana orang berinteraksi satu sama lain, terutama di negara asal saya, Indonesia. Dengan kelompok etnis, agama, bahasa, dan ras yang beragam, setiap interaksi tampak menarik bagi saya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demo Morowali dan Impian yang Tak Tercapai

29 Juni 2020   20:09 Diperbarui: 29 Juni 2020   19:59 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Durkheim dalam bukunya The Division of Labour menuliskan ada tiga jenis pembagian kerja. Pembagian kerja paksa adalah di mana pembagian kerja tidak diizinkan untuk berkembang secara spontan sehingga terjebak pada posisi nya masing-masing. Kemudian pembagian kerja anomie adalah pembagian kerja dimana tempat kerja tidak ditemukan norma dan etika. 

Terakhir ada pembagian kerja yang kurang koordinasi, dimana pembagian kerja dilakukan tidak sesuai kemampuan pekerja. Ini menimbulkan pembagian kerja anomie yang mendalam pada perusahaan tersebut. Buruh melihat etika dan norma perusahaan yang membedakan pekerjaan berdasarkan kewarganegaraan, bukan dari keahlian sebagai ancaman terhadap eksistensi dan masa depan mereka dalam perusahaan. 

Mereka merasa tidak akan bisa naik ke jabatan yang lebih tinggi pada perusahaan sehingga mengadukan ancaman tersebut kepada pihak berwenang, yakni Pemerintah. Walaupun demikian, Pemerintah Pusat bersikap seperti berpihak pada perusahaan dengan memberikan pernyataan yang menenangkan melawan fakta yang ada, untuk menghindari ledakan sosial semakin meluas yang dapat membuat mass hysteria. Ledakan sosial adalah mulainya ketidakpercayaan masyarakat kepada norma dan nilai yang dianut dan mass hysteria adalah ketika masyarakat tidak memiliki norma dan nilai yang dianut, hal tersebut menimbulkan perpecahan. 

Selain itu, komunikasi yang buruk antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali pun dianggap sebagai pemicu dari adanya mogok kerja ini. Sikap tersebut memicu kemarahan publik karena bukan itu yang publik inginkan dari pemimpin mereka. Kejadian ini dimanfaatkan oleh sekumpulan orang untuk memanaskan isu sentimen anti Tiongkok yang belakangan ini mulai gencar di Indonesia, sentimen yang sama seperti pada peristiwa berdarah 1998 yang menyerang etnis Tionghoa. 

Sentimen ini  di perkeruh dengan hadirnya video Youtube yang menakut-nakuti masyarakat dengan fakta palsu. Kejadian ini merembet tidak hanya di Morowali, namun menimbulkan kegemparan secara nasional karena hadirnya video tersebut. Muncul arus sosial amarah yakni fakta sosial yang tidak begitu jelas.

 Arus sosial amarah ditujukan bagi Pemerintah karena dirasa kurang merepresentasikan masyarakat. Timbullah kesadaran kolektif untuk menentang Pemerintah dengan aksi berbela rasa masyarakat yang sedang kesusahan di Morowali. Aksi masyarakat yang bersatu menentang sikap Pemerintah bisa dikatakan sebagai sikap solidaritas. 

Pemerintah Pusat dan Daerah sudah seharusnya mengatur semua investasi yang ada di Indonesia, khususnya di Morowali agar terjadi transfer teknologi sehingga semua pekerjaan pada jabatan apapun dapat dipegang oleh pekerja lokal. Pemerintah tidak boleh melupakan bahwa dalam berinvestasi diharuskan untuk memikirkan keuntungan masa depan pula, bukan hanya keuntungan saat ini saja. 

Perusahaan dalam hal ini juga seharusnya memikirkan dampak sosialnya pada masyarakat, tidak hanya memikirkan keuntungan ekonomi semata. Perusahaan harus lebih memberi perhatian pada demografi masyarakat Morowali yang dulunya merupakan petani dengan lebih sering mengadakan Corporate Social Responsibility (CSR). 

Masyarakat agraris membutuhkan CSR khususnya bidang pendidikan agar masyarakat dapat merasakan dampak baik dari adanya perusahaan tersebut. Dengan menaikkan kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut, diharapkan kualitas pekerja lokal pada pabrik tersebut pun juga meningkat.

Agar semua stakeholder dalam masalah ini dapat melakukan tugasnya dengan baik, dibutuhkan media massa yang bebas dari hoaks. Media massa berperan penting dalam penyajian fakta sosial  pada masyarakat. Dengan Undang-undang Informasi dan Teknologi pasal 28 ayat 1 yang mengatur tentang hoaks, tertera peran pemerintah sebagai filter dalam memerangi hoaks. 

Walaupun begitu, Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri.  Kita sendiri harus lebih berhati-hati dengan fakta yang disajikan dalam media karena hal tersebut belum tentu merupakan fakta yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun