Isu dunia pendidikan nasional sedang hangat kembali di mana penjurusan di SMA akan dikembalikan. Ah, yang benar saja. Kalau pemerintah melalui Mendikdasmen berniat untuk mengembalikan penjurusan di SMA, ada potensi diskriminasi pendidikan kembali terulang.
Mengapa diskriminatif? Sebagai guru yang pernah mengalami penjurusan selama 13 tahun, yakni 3 tahun sebagai siswa SMA dan 10 tahun sebagai guru, penjurusan memang diskriminatif.
Pengalaman di lapangan bahwa penjurusan IPA, IPS dan Bahasa hanyalah praktek terselubung yang merusak marwah pendidikan itu sendiri. Siswa dengan kemampuan finansial menengah ke atas akan memdominasi jurusan IPA sebagai jurusan favorit.
"Anak IPA adalah kelas unggulan, rata-rata siswanya pintar dan baik-baik karakternya."
Itu fakta di kalangan guru dan masyarakat. Magnet orang memasukkan ankanya di jurusan IPA sangat tinggi. Saya pernah menyimpulkan, dari kurang lebih 700 orang tua yang mendampingi anaknya pada PPDB tahun 2018, sebelum masuknya Kurikulum Merdeka, hampir semuanya menitip agar anaknya dimasukkan di kelas IPA.
Alasannya beragam, mau masuk kedokteran, tentara, polisi, pelaut, teknik sipil, dll. Segala cara pun dilakukan demi mewujudkan harapan. Termasuk bekerja sama dengan panitia PPDB, menggunakan orang dalam, pejabat hingga bertemu langsung kepala sekolah. Tak perlu disebutlah tindakan lain yang mengarah ke gratifikasi lokal.
Magnet jurusan IPA dengan paham klasik bahwa hanya anak IPA yang mudah mendapatkan jurusan unggulan di perguruan tinggi negeri dan mudah pula mencari pekerjaan.
Di sisi lain, jurusan IPS dan Bahasa dianggap sebagai kelas pembuangan. Di jurusan ini diidentikkan dengan siswa kurang pandai secara kognitif dan nakal. Cap sebagai kelas bermasalah juga sering disematkan pada jurusan diluar IPA.
Padahal, semua anak sama di mata pendidikan. Mereka berhak menerima perlakuan pendidikan yang sama. Pengkotak-kotakan siswa lewat penjurusan secara langsung tidak adil. Ini belum berbicara tentang pendidikan inklusi.
Intinya, anak IPA dan Bahasa dipandang sebelah mata. Jelas, ini adalah diskriminasi. Sebuah praktek pembunuhan karakter bagi generasi bangsa secara turun-temurun.