Cancel Culture adalah sebuah situasi di mana seseorang ditolak di komunitas atau lingkungan sekitarnya karena sebuah perilaku yang dianggap bertentangan atau melanggar norma. Aksi yang mengikuti stilah ini pun cenderung mengarah pada "pengucilan tingkat dewasa."Â
Cancel Culture yang mulai populer dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak menyasar pesohor publik dalam pemberitaan. Katakanlah seperti penyanyi dan aktor, Saipul Jamil yang pernah ditolak ramai-ramai oleh warga ketika bebas dari penjara karena kasus pidana.Â
Tetapi, sebenarnya cancel culture telah lama berlaku di lingkungan masyarakat secara turun-temurun. Aksi dan tindakan yang menyerupai cancel culture dapat dipengaruhi oleh tradisi, adat istiadat, kearifan lokal dan agama. Hanya saja, kita tidak mengenal istilahnya.Â
Inilah yang coba saya kaitkan dengan aksi yang mirip dengan cancel culture yang berlangsung kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja.Â
Saya memulainya dengan tindakan tegas yang ditetapkan oleh satu Gereja Toraja kepada seorang anggota jemaatnya. Yang bersangkutan melanggar norma-norma kehidupan bergereja, baik secara Alkitabiah, keKristenan dan adat istiadat.Â
Peristiwa tersebut terjadi pada seorang pensiunan guru di mana ia mendapat sanksi bernama siasat gerejawi. Sanksi tegas dalam diberikan karena ia melanggar norma kesusilaan di mana ia menghamili ponakannya sendiri. Singkat cerita, setelah kasus ditelusuri, tindakan bejatnya sangat bertentangan dengan Alkitab dan adat Toraja.Â
Pemberian sanksi tegas dalam bentuk "diusir" dari tengah-tengah jemaat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ia bisa tinggal bersama keluarganya yang jauh dari kampung halaman.
Siasat gerejawi yang diterapkan oleh Gereja Toraja ini sebenarnya adalah tindakan pengucilan. Seseorang dikucilkan karena pelanggaran beratnya. Sebagian besar anggota gereja yang terkena sanksi ini adalah bagi mereka yang melanggar norma perkawinan Kristen.Â
Tindakan ini dianggap jauh lebih berat dari pada dipenjara. Mengapa berat? Karena ia dikucilkan sekaligus menerima pembelajaran atas segala perbuatannya yang memalukan.Â
Seseorang yang terkena siasat gerejawi baru dibolehkan kembali ke lingkungan gereja ketika ia telah benar-benar mengakui segala dosa dan kesalahannya melalui pertobatan. Majelis gereja dalam hal ini pendeta jemaat bertanggung jawab untuk memulihkan status dari seseorang yang pernah terkenan siasat gerejawi.