Tiupan peluit kick off Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah mendengung di minggu kedua di seluruh provinsi Indonesia. Namun, belum semua sekolah melaksanakannya. Hanya sejumlah sekolah yang telah siap daya dukungnya, baik dari sisi sarana maupun kekuatan dapur umumnya.Â
Berdasarkan hasil kick off, kisaran biaya makan bergizi gratis di berbagai daerah bervariasi, mulai dari Rp 6.000 hingga Rp 10.000. Biaya ini untuk belanja utama bahan baku menu makan siswa berupa nasi, sayur, buah dan lauknya.Â
Namun, saya tidak akan fokus membahas efektifitas biaya. Saya tertarik pada sejauh mana program MBG ini bisa berkontribusi untuk perubahan iklim.Â
Seperti kita ketahui bahwa bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Setiap tahun, permukaan air laut terus naik seiiring dengan terus melelehnya gunung es di kutub utara dan kutub selatan sebagai dampak dari pemanasan global.Â
Jika tidak ada intervensi dan aksi nyata secara masif dan berkelanjutan, maka dalam hitungan beberapa tahun ke depan banyak wilayah di dunia akan tenggelam.Â
Fakta tenggelamnya sejumlah wilayah sebagai dampak naiknya permukaan air laut sudah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Kota Jakarta masuk dalam wilayah yang berpotensi tenggelam di tahun 2100.Â
Nah, bagaimana program MBG ini bisa berkontribusi untuk perubahan iklim?Â
Mari memulainya dengan dengan menganalisis sejauh mana satu porsi makan untuk siswa, apakah bisa dihabiskan atau justru meninggalkan sisa? Melihat takaran biaya dan ukuran porsinya, makanan bisa habis.Â
Tetapi, perlu menjadi perhatian pihak sekolah penyelenggara MBG dan pemerintah bahwa dalam satu hari pemberian makanan, pasti ada sisanya. Apakah berupa nasi, tulang, sayuran atau bungkus susu kotak. Khusus pemberian susu kotak, sudah pasti meninggalkan sampah.Â
Jika dalam satu sekolah dengan jumlah siswa mencapai 300, lalu semuanya meninggalkan 300 kotak susu belum lagi sampah dari sisa makanannya, bisa dihitung volume sampah yang dihasilkan setiap hari.Â