Pengalaman saya setelah menjadi mahasiswa rantau yang beradaptasi serta berinteraksi dengan teman-teman yang berasal dari berbagai daerah seperti Sumatra, Sulawesi, Papua, dan Timor leste mengajarkan bahwa komunikasi antar budaya adalah jembatan untuk memahami perbedaan dan menciptakan kebersamaan. Perbedaan-perbedaan tersebut menandakan terdapat keterikatan antara komunikasi internasional, antar etnis, dan antar ras yang merupakan bagian dari komunikasi antar budaya sehingga dapat menjembatani interaksi antar negara, perbedaan etnis, perbedaan ras yang terjadi di lingkungan sekitar dan tercipta kebersamaan. Namun, ketika melakukan komunikasi antar budaya tentu saja sering muncul hambatan seperti setereotipe, prasangka, dan etnosentrisme. Hambatan tersebut muncul karena terdapat perbedaan dan keberagaman budaya, etnis, ras, bahkan negara yang belum kita pahami. Contohnya, terdapat anggapan bahwa semua orang Jawa berbicara halus, sopan, tidak enakan, sedangkan orang yang berasal dari wilayah Timur memiliki karakter yang keras, tegas. Stereotipe ini memunculkan prasangka negatif yang merugikan karena menilai seseorang sebelum mengenal dan hanya berdasarkan asumsi yang salah. Etnosentrisme terjadi karena meyakini bahwa budaya kita lebih unggul, hal ini menjadi peghalang seperti menghambat keterbukaan karena seseorang cenderung menilai sebelum mengenal, serta meningkatkan resiko terjadinya konflik.
Untuk menghindari hambatan komunikasi antar budaya diatas maka hal yang perlu dilakukan yaitu:
1.Menghormati perbedaan: meskipun terdapat perbedaan ras, etnis, budaya, dan negara hal yang pertama kita lakukan adalah menghormatinya.
2.Berusaha bertanya dan mendengarkan informasi yang diberikan mengenai pandangan mereka tanpa menghakimi
3.Jangan berasumsi berdasarkan penampilan atau logat
4.Mencari kesamaan untuk menciptakan kebersamaan dan rasa nyaman.
Pengalaman saya sebagai mahasiswa Jawa yang merantau ke Yogyakarta, saya mengalami berbagai perbedaan budaya yang menambah pengetahuan dan menjadi pelajaran berharga bagi saya. Ketika berkomunikasi dengan sesama orang Jawa, saya menemukan perbedaan dalam logat, adat istiadat, kebiasaan, dan cara berkomunikasinya. Ketika berdiskusi dan mengutarakan ketidaksetujuan tidak semua orang jawa menolak dengan rasa tidak enak, ada juga orang Jawa yang mengutarakan dengan tegas. Hal ini membuktikan stereotipe diatas belum tentu benar. Seiring berjalanya waktu, saya belajar untuk lebih peka terhadap konteks budaya mereka dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan identitas saya sendiri.
Apabila saya menjadi jurnalis, kemampuan komunikasi antarbudaya yang sedang saya pelajari ini akan menjadi hal yang penting. Menjadi jurnalis menuntut kita untuk bisa memahami latar belakang narasumber yang beragam, dan memastikan pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh audiens. Misalnya ketika meliput berita konflik antar etnis, pemahaman komunikasi antarbudaya sangat penting untuk dapat mencegah penyampaian berita yang berpotensi memperkeruh situasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H