Mohon tunggu...
Desi Triyani
Desi Triyani Mohon Tunggu... Teacher -

www.destinyour.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Negara Kelima #Part 1

3 November 2011   08:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:06 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duduk lama, menatap belahan jiwa (baca : notebook), ‘berdialog’ tentang apa saja, lantas mengurainya di sudut ruang maya ini, adalah aktivitas yang hampir hilang selama beberapa minggu terakhir. Menulis artikel dan novel pun, hanya menjadi sekedar wacana. Berberapa ujian, terschedule dari hari ke hari. Menantang sekaligus melelahkan. Semoga ini sebuah jawaban. Menjadi ikhtiar sebenar-benarnya ikhtiar. Mungkin, kalau ada peraturan dimana setiap orang yang menjalani ujian berhak diberikan kompensasi fee, maka saya adalah salah satu orang yang paling bahagia dengan peraturan itu. Haha. Oke, let’s talk about this book! Kenapa Harus Merivew Buku? Kemarin teman saya bertanya “kenapa sih, harus review buku yang sudah dibaca?” Simple sih alasannya, saya hanya tidak ingin, ingatan saya crash antara satu buku dengan buku yang lain. Haha. Ngaco. Tidak juga sebenarnya, malah banyak benget buku yang belum direview, alasannya klasik, MALAS dan LUPA. Nah ini. Buat saya itu penyakit, harus ada therapinya. Jadilah saya membuat review, supaya tidak lupa dan terlanjur malas. Selain alasan BERBAGI. Negara Kelima Penulisnya, sukses membuat saya terus mengulang bacaan dan membolak-balik halaman dialog antara Timaeus dan Critias. Ada yang kenal? Kalau saya, baru dengar kali ini. Ketahuan ya motivasi saya belajar sejarah. Minim. Ini sebenarnya buku lama. Saya beli new edition-nya, hampir dua tahun yang lalu. Kalau ada tulisan dibawahnya “Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional (1908-2008)”, tema ini memang cocok sekali ! Dan, saya benar-benar telat mereviewnya. Awalnya, agak bosan membaca bab-bab awal novel ini. Saya berpikir ini adalah novel dengan cerita pembunuhan, pemberontakan dan teror kepada aparat Kepolisian –instansi yang diibaratkan seperti lumpur, yang tidak akan pernah kering dan juga tidak akan pernah bisa dilarutkan air, terlanjur kotor. Mereka gelisah melihat kekacauan negeri tanpa harga diri ini. Dan organisasi itu bernama Kelompok Patriotik Radikal (KePaRad). Tapi, saya tidak percaya kalau ide sang penulis sedangkal itu. Bukan karena sahabat saya sudah bercerita tentang penulisnya, tapi ada sebuah untaian kata di opening buku ini, yang membuat saya bergetar membacanya. Indah!. Benar saja, secara ide cerita novel ini cadas! Kalau Koran Tempo menulis ini adalah sebuah novel provokatif dan data sejarah serasa renyah, maka saya setuju. Meskipun, ada banyak bagian cerita yang sedikit dipaksakan, juga kejanggalan saat mengungkap tanggal aksi KePaRad (Hal. 356) di bilangan : 18, 20, 23, 1, 1 dan 6, jika mau hitung selisihnya, hasilnya bukan 2 3 9 0 5 (yang di asumsikan 23/9/05). Ahh, apa saya yang error? Atlantis Tenggelam di Nusantara Apa pendapat anda, jika Atlantis tenggelam di lautan Nusantara seperti yang tertulis di dalam buku Timaeus and Critias, karangan Plato? Asumsi bahwa Nusantara Kuno adalah titik tengah dunia. Sepanjang tahun mendapat cahaya matahari, sehingga tidak pernah mengalami kondisi yang ekstrem. Di sinilah terdapat sisa hamparan pulau-pulau bekas benua Lemuria, nenek moyang manusia untuk pertama kali memiliki peradaban tinggi. Hingga kemudian bencana itu menenggelamkan mereka. Do you believe? Nusantara ini bukan sekedar serpihan bekas colonial Belanda! Nusantara kita mungkin lebih tua dari negeri-negeri utara. Hegemoni utara yang membuat negeri-negeri selatan menjadi kerdil dan lupa akan sejarah panjangnya sendiri. Benarkah sejarah tidak lebih dari cerminan masa lalu? Apa yang akan terjadi, jika seseorang terlanjur merasa dirinya adalah dekonstruktor sejati peradaban? Baginya, Indonesia sudah berakhir sejak 1 Desember 1956. Ia pun menggerakkan ribuan anak muda, mempersiapkan Negara Kelima. Apa kau tidak ingin menjadi bagian dari sejarah yang akan tergores dalam tinta emas dunia kawan? Lalu, apa yang akan terjadi jika perjuangan mereka ditunggangi oleh kepentingan oknum aparat penegak hukum negeri ini? Nah, disini saya mamiliki ekspektasi berlebih, terbayang ada sebuah konspirasi besar para zionis yang melibatkan pejab(h)at bertopeng negeri ini, karena mengetahui betapa dahsyatnya nusantara. Tapi jadi anti klimaks. Namun, tetap menarik. Buat yang tidak suka sejarah, mungkin agak sedikit pusing membaca buku ini –saya, salah satunya. Tapi, setelah anda membacanya, anda tidak akan menyesal! Seperti kuliah 2 SKS :p. Saya pun memutuskan untuk membuat dua part dalam review kali ini. Terlalu banyak yang menarik untuk dilewatkan! Nah, mau tahu salah satunya? Monggo, disambiSejarah Minangkabau : Sistem Patrilineal menjadi Matrilineal Menurut Tambo Minang, asalnya dulu Minangkabau memakai sistem patrilineal. Hingga datang masa kejayaan Majapahit yang melakukan ekspansi. Panglima Adityawarman bersiap menyerang dan menguasai Minangkabau. Minangkabau adalah kerajaan yang dikenal sebagai nagari tanpa polisi. Kerajaan yang tidak pernah menyiapkan angkatan perang karena mengutamakan kedamaian. Demi keselamatan rakyat, perang harus dihindari, namun strategi perlu dicari. Diputuskanlah untuk menyambut Adityawarman dengan kebesaran, bukan senjata. Utusan dari Pagaruyung datang menemui Adityawarman. Menyampaikan keinginan Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang (pemimpin di Minangkabau) bahwa Datuak Katumanggungan bersedia untuk memberikan jabatan pucuk alam pada Adityawarman sepanjang ia tidak memerangi rakyat Minangkabau dan harus mau menikah dengan Puteri Jamilan, adik Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Adityawarman bingung. Namun, Datuak Parpatiah Nan Sabatang sudah menyadari pasti Adityawarman akan menerima tawaran itu (hedeeh, memang dasar lelaki, jabatan dan wanita selalu membuatnya melted!), ditetapkanlah adat Batali Bacambua yang langsung merubah struktur masyarakat Minangkabau. Adat Batali Bacambua adalah adat yang mengatur hubungan antara bapak dan mamak. Intinya di dalam rumah tangga terdapat dua kekuasaan, Bapak dan Mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu). Ini tidak lebih dari kecerdikan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, yang tetap menginginkan akar kekuasaan berasal dari Datuak Katumanggungan. Dengan waris turun dari mamak bukan bapak ini, nantinya akan memposisikan Adityawarman tidak lebih dari raja transisi bukan raja sebenarnya dari alam Minangkabau. Sebab Datuak Katumanggungan yang menyerahkan kekuasaan padanya, dengan system adat yang baru, terkesan hanya menitipkan kekuasaan. Hingga datang masanya nanti kemenakannya lahir dari perkawinan Puteri Jamilan, adiknya, dengan Adityawarman. Dengan adat Batali Bacambua yang dipakai hingga sekarang, waris diterima oleh anak Adityawarman bukan dari bapaknya, tetapi dari mamaknya yaitu Datuak Katumanggungan. Oh, begitu. Tapi jujur saya masih tidak mengerti. Hehe. Teman pun nyeletuk iseng “jadi karena Lelaki Jawa ya, para pemimpin di Minang merubah struktur masyarakat sebegitunya, kasihan, korbannya Lelaki Padang…” (lho? maksudnya?). Begitulah, ketika cerita mampu menimbulkan banyak persepsi :p. Tapi, jangan salah! Adityawarman itu keturunan Minang. Ia adalah putra dari penikahan Dara Jingga dengan Tuan Janaka, seorang petinggi istana di Majapahit. Dara Jingga adalah anak Mauliwarmadewa, Raja Malayu yang telah berganti menjadi Darmasraya. Konon, ia mengirimkan kedua puterinya untuk sebuah misi di tahan Jawa. Mau tau juga, kalau ternyata masyarakat Minangkabau itu keturunan Iskandar Yang Agung. Ada di lanjutan review berikutnya… Bersambung…

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun