Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Terima Kasih Admin ya, Telah Mempertemukan Kami"

28 Januari 2014   20:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13909180891398830390

[caption id="attachment_308846" align="aligncenter" width="300" caption="Kiri ke kanan: Mas Wahyu, Mas Ganendra, Pak Thamrin Dahlan, dan Mbak Maria Margaretha (Koleksi Pribadi)"][/caption] Epicentrum XXI di HR Rasuna Said. Itu tujuan saya sore itu. Saya tahu bahwa saya harus tiba di tempat itu sekitar jam 6sore. Saya berjanji dengan teman maya saya di K, Rahab Ganendra. Saya memanggilnya Mas Ganendra. Kami berjanji untuk bertemu face to face setelah berkomunikasi lewat tulisan. Rencana ini sudah lama kami gagas, sejak saya masih di Malaysia. Bahkan pun, Mas Ganendra saya beritahu yag pertama kalau saya sudah berada di Jakarta, Indonesia. Tak disangka dia menelepon saya duluan. Kami berjanji untuk bertemu, tapi karena kesibukan kami, pertemuan yang dirancang pertama kali pun tidak kesampaian. Rupanya film "12 Menit: Kemenangan Untuk Selamanya" yang menakdirkan kami untuk bertemu. Saya sewaktu membaca info tentang nonton bareng film ini, saya otomatis berpikir tak bertemu dengan Mas Ganendra pun, asal bisa bertemu dengan K'ners yang lain tak apa. Saya pun melayangkan e-mail untuk mendaftar. Sehari kemudian, saya terkejut ketika melihat di list nama Mas Ganendra pun ada disitu. Kami pun ber-sms tentang rencana kedua pertemuan ini. Saya dan Mas Ganendra punya niat yang sama, bertemu untuk silaturahim dan melakukan kegiatan yang bermanfaat bersama ke depan. Rupanya saya juga berkesempatan bisa bertemu sesama K'ners lain. Jam 5 sore saya sudah siap di stasiun kereta api di Stasiun UI. Kebiasaan saya dengan naik kereta api dibanding taksi selama di Kuala Lumpur tak otomatis berubah dengan suasana di Indonesia. Sekalian mencoba membuktikan dengan mata kepala sendiri tentang penataan kereta api oleh Jokowi-Ahok. Tiketpun sudah berubah, dari sekedar kertas kini menjadi e-ticket seharga 7,500 rupiah Stasiun UI tampak bersih dan rapi seperti yang diberitakan setelah penataan pedagang. Kini pemandangan terlihat lapang. Saya diberitahu untuk turun di stasiun Cawang, jika saya harus naik busway ke HR Rasuna Said. Di dalam kereta pun terasa nyaman ada pendingin. Soal berdesakan dan penuh pun sama seperti monorail atau KRL di Kuala Lumpur. Apalagi di jam-jam rush hour, berangkat atau pulang kantor. Tak terasa 15 menit saya sudah sampai di Stasiun Cawang. Saya diberitahu agar berjalan melalui bawah jembatan untuk menuju shelter busway. Sepuluh menit saya berjalan sampai lah saya di shelter busway, saya membeli tiket 3,500 rupiah. Turun di Kuningan Barat ya Mas, saya memberitahu si kondektur busway sesuai petunjuk petugas loket saat saya beritahu saya akan ke HR Rasuna Said. Hampir dua puluh menit saya sampai di Kuningan Barat, dan saya harus menuju shelter busway yang ke arah Dukuh Atas. Saya berjalan terus melalui jembatan penghubung dari Kuningan Barat ke shelter busway menuju Dukuh Atas. Akhirnya saya sampai ke shelter itu. Saya pun bertanya kepada petugas jaga di situ, kemana saya harus beli tiket untuk naik busway menuju Dukuh Atas. Langsung saja naik busway berwarna oranye. Saya pun berpikir, pembayarannya di atas bus. Tapi, kemudian seseorang yang tampaknya mempunyai tuuan yang sama menjelaskan bahwa pembelian tiket di shelter dimana kita naik, kita bisa pergi kemana saja keliling Jakarta atau turun dimana saja kita mau tanpa membayar lagi. Saya senang sedemikian murah dan mudah angkutan massal di Jakarta sekarang. Jam tepat pukul 6 sore, akhirnya setelah 5 menit menunggu busway pun datang. Saya turun di shelter Sumantri Brojonegoro. Saya berjalan menuju Pasar Festival. Petugas yang saya tanya dimana Epicentrum menjelaskan bahwa saya harus keluar dari mall ini berjalan menuju arah belakang. Berjalan 15 menit dari Pasar Festival ke Epicentrum XXI. Terlambat. Jam 06.40malam saya tiba di Epicentrum, saya pun mengambil tiket nonton bareng. Petugas tiket begitu mendengar saya dari Kompasiana, diberikan selembar tiket nonton bareng itu. Setelah berkali-kali menelpon saya pun bertemu dengan Mas Ganendra, dan disitu ada K'ners lainnya; Pak Thamrin Dahlan, Mbak Maria Margaretha, Mbak Afriska, Mbak Edrida Pulungan, Mas Amaluddin, Mbak Hastuti Ishere, Mbak Yayat, Mbak Indri Permatasari dan lain-lain. Di tengah pengunjung yang "crowded," kami saling berkenalan menyebut nama dan bersalaman. Kami senang seperti tampak terpancar di wajah riang kami. Kami juga ngobrol sambil berdiri. Mas Ganendra memberitahu bahwa tiket untuk saya telah diambilkan. Wah saya dapat tiket double. Saya kembalikan tiket yang saya pegang. Kami semua sepakat setelah nonton film kita bertemu di meeting point yang sama. Menjelang masuk ke theatre-2 tanya jawab pun berlangsung. "Sekitar 40 tahun ya Mas?" "Tepat 34 tahun khan?" "Mas Wahyu berumur 38 tahun, itu tebakan saya" "Saya pikir Mas Wahyu sudah tua, ternyata kok masih muda begini?" Saya tersenyum dalam hati, mendengar tebakan warga Kompasioner saat ngobrol kopdar Senin malam 27 Januari 2014 di acara nonton bareng (nobar) premiere film "12 Menit: Kemenangan Untuk Selamanya." Tebakan-tebakan soal tua-muda itu sampai pagi ini masih ada berlanjut kali ini lewat inbox. "Oiya…? wah berarti senior sekali yaa.. hahaha…" Begitu balasan bernada tebakan itu terbaca di baris pertama pesan di inbox, setelah saya menceritakan pernah memberikan seminar di kampusnya Universitas Pasundan Bandung di tahun 2006. Bahkan teman saya sendiri keheranan melihat saya. "Benar Mas, kau seperti tak berubah. Masih seperti yang dulu," begitu komentar dia saat bertemu beberapa hari setelah saya berada di Indonesia. Terakhir saya bertemu 3 tahun yang lalu. Saya sebenarnya malu menjawab jika ditanya soal umur. Saya malah cenderung menghindar jika ada pertanyaan-pertanyaan itu. Bukan apa-apa. Setelah itu, pasti ada pertanyaan lanjutannya yang malah membuat saya semakin benar-benar malu. Misalnya, "Sudah punya istri, Mas?" "Sudah berapa anaknya?" "Lho? Kok masih.....?" Atau kadang ada yang ekstrem bertanya walaupun bergurau."Suka nggak sih sama perempuan?" Nah loe..!! Padam legam muka ini semakin menghitam. Malu. Makdarit, saya lebih memilih menjawab tidak jelas daripada saya berbohong. Juga, bahkan saya yang balik bertanya. "Kira-kira berapa umur saya ini, ya?" "Saya yang jelas lebih tua, lha khan saya dipanggil "Mas." "Memang pantas saya berumur 40? Coba tengok ada rambut uban nggak di kepala saya?" "Heu...heu..heu...sekali-kali donk nanya saya, "Istrimu berapa, Mas? Daripada bertanya anakmu berapa" "Anak saya? Sewaktu saya mengajar, seluruh kelas itu anak saya. Ada 40 orang anak saya. Laki-laki 25, perempuan 15." Ah, tak penting soal umur itu, yang penting saya sudah bisa bertemu dengan sebagian teman maya di Kompasiana. Ternyata mereka nyata, bukan palsu, bukan akun abal-abal. Senang sekali rasanya berteman dengan mereka. Pengalaman bertemu dengan para penulis yang tak pernah ada dalam benak saya sebelumnya. Terima kasih Admin ya, telah mempertemukan kami sehingga kami bisa saling tahu sama lain. Bisa membuktikan satu sama lain bahwa kami ada dan nyata, bukan seperti si anu. Pertemuan itu menambah pengalaman kami, menambah manfaat dengan berkegiatan bersama ke depan.

--------mw--------

*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun