Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memilih Bebas Anak

1 Oktober 2021   08:00 Diperbarui: 1 Oktober 2021   08:10 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang sore kami tidak kembali ke Puskesmas, tetapi kami ke Palembang. Baju pelampung kami pakai. Beberapa orang tidak mau memakainya. Ketika hujan deras mengguyur perairan Sungai Musi dan pengemudi speedboat hanya mengandalkan lampu sorot, beberapa orang yang tidak mau memakai pelampung mulai gelisah. Pengemudi harus awas melihat balok kayu yang hanyut, badan kapal bisa pecah kalau menabraknya. Ombak sungai juga menggeliat. Basah terkena hujan dan cipratan ombak yang diterjang speedboat.

Sekitar 3 jam berjuang akhirnya kerlip lampu Pertamina Sei Gerong mulai terlihat disusul lampu PT Pusri. Lega. Kami memilih untuk berhenti di Pelabuhan Airud.

Kami dijemput dua motor. Gemeretak tulang ditusuk dingin. Dingin dan terpaan angin, motor menerjang gerimis. Pelukan makin rapat.

"Aku serius dengan pernyataan kalau aku tidak bisa memberi anak, ceraikanlah aku!".

Duh, biyung ini juga baru enam bulan kawin sudah ngomong soal anak dan cerai. "Aku tidak akan meninggalkanmu, baik kau bisa melahirkan atau tidak bisa melahirkan. Kita orang sekolahan".

Lima Tahun

Selama lima tahun menikah, hidup penuh dengan rekreasi. Begitu banyak cobaan sosial kultural. Walau demikian kami berdua berusaha berkarya  dan meninggalkan kebaikan sebanyak mungkin. 

Bebas anak membuat kami bisa berjalan ke mana saja, bahkan ke pelosok perkebunan sawit untuk penyuluhan kesehatan. Bebas anak melihat dunia lebih luas. Bebas anak membuat kami menjadi lebih bijak dalam melihat kehidupan, tidak hitam putih apalagi abu-abu. Segala sesuatu dinikmati dengan penuh cinta.

Tahun kelima, satu tahun lagi dari keputusan bebas anak, di sebuah bar, kaki kupu-kupu mengajak ke pinggir kolam. Dua gelas minuman memabukkan terhidang di meja temaram. Di depan terlihat samar Gedung Lipi. Percakapan memabukkan meluncur dengan deras.

"Apakah kita akan menyerah? Ataukah kita akan menerima nasib dengan tangan terbuka? Apakah ini sebuah pelarian? Apakah suatu waktu kau akan berubah, meninggalkanku?".

"Pergilah dengan cinta. Pergilah tanpa harus menoleh lagi ke belakang?".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun